Saturday 23 March 2013

Sidiq Peniru Ulung

Bikin kue

“Mama, lihat nih!”

Sidiq membuatku terkejut. Dia mengangkat bajunya dan bertingkah seolah sedang menyusui bayi, karena dia memang sedang menggendong boneka teddynya.

“Dede lagi nenenin boneka….,” katanya, sambil tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi.


Aku tergelak. Ya ampun, ada-ada saja Sidiq! Sigap kuambil kamera dan mengabadikan kelucuannya itu. Rupanya dia meniruku yang sedang menyusui adik bayinya. Sejak usianya 1,5 tahun, aku tahu bahwa dia suka meniru ucapan dan perbuatan siapa saja. Itu yang membuatku harus sangat-sangat berhati-hati menjaga ucapan dan perbuatanku. Sikapnya itu tak berlaku pada Ismail, kakaknya, yang hanya terpaut usia satu tahun. Ismail tidak suka meniru ucapan dan perbuatanku. Mungkin ada yang ditiru, tapi tak banyak. Sedangkan Sidiq hampir meniru semuanya. Bahkan pernah Sidiq berada dalam fase mengcopy-paste semua ucapan dan perbuatan Ismail. Kalau Ismail bilang, “Mama minta susu….” Sidiq juga akan bilang, “Mama minta susu….” Ibarat orang yang sedang mendaki gunung lalu berteriak dan disambut dengan gema, Sidiq itulah gema-nya.

Masalahnya, Sidiq itu anak laki-laki. Bagaimana jadinya kalau kebiasaanku yang bersifat wanita juga ditirunya? Iya, pernah aku dikejutkan dengan wajahnya yang bertabur bedak dan bibirnya celemotan lipstick. Masya Allah! Rupanya dia baru saja berdandan mengikutiku! Kulihat lipstick di laci lemari sudah habis dipatahkan olehnya. Padahal itu lipstick baru beli, hiks! Yang lebih lucu, dia juga suka memakai kerudungku dan menyebut dirinya, “cantik.” Sidiq juga mengikuti kegiatanku sehari-hari seperti memasak, mencuci piring, mencuci baju, menyapu, mengepel, dan membuat kue.

Aku ingat saat usianya baru 1,5 tahun dan baru lancar berjalan, aku sedang mengepel kamar tidur. Ember berisi air sabun kuletakkan di ruang tengah. Salahku juga yang tak berpikir bahwa Sidiq akan meniruku. Dia gulingkan ember sehingga airnya tumpah ke seluruh ruang tengah.

Mulanya aku khawatir dengan kesukaannya meniruku berdandan dan memakai kerudung, tapi sekarang tidak lagi, setelah kuberi pengertian bahwa dia anak laki-laki. Untuk pekerjaan rumah tangga, ah kenapa tidak anak laki-laki juga piawai mengerjakannya? Anak laki-laki juga harus bisa memasak, mencuci piring, menyapu, mengepel, bahkan membuat kue! Tidak ada aturan yang menyatakan bahwa semua pekerjaan itu hanya boleh dikerjakan oleh anak perempuan. Apalagi aku tak punya anak perempuan, maka anak-anak laki-lakiku-lah yang kuharapkan dapat membantu pekerjaanku kelak.

Namanya belajar, tentu ada biayanya. Begitu juga saat Sidiq “belajar” mencuci piring. Dia keluarkan semua piring bersih, diceburkan ke dalam bak mandinya, dan  bersikap seolah-olah sedang mencuci piring. Sama halnya saat dia mencuci baju. Semua baju kotor diceburkan ke air. Dia habiskan semua persediaan sabun cuciku, bahkan yang baru kusobek bungkusnya (sebanyak 1 kg), membuatku menangis. Dia sering memintaku membuat kue, tapi saat aku hendak membuatnya, dia bersikeras mengambil alih tugasku.

“Mama, sini Dede aja yang bikin kuenya!”

Waduh! Bahaya deh kalau dia yang bikin, bisa-bisa bahan kuenya berhamburan ke mana-mana. Awalnya aku menolak, tapi melihat wajah Sidiq yang cemberut dan sangat kukuh ingin membuat kue, kuberikan dia kesempatan. Mula-mula dia membantu menuang terigu ke dalam adonan. Yihaaa… terigu pun berhamburan ke mana-mana. Oke deh, tak apa-apa. Namanya juga belajar, kan? Dia juga meminta memecahkan telur, dan…. Telur pun terciprat ke mana-mana. Yang lebih parah, pernah kuminta dia memegang mixer yang sedang mengaduk adonan, karena aku mau menyiapkan oven dan loyangnya, lalu dia angkat mixer yang masih berputar itu, sehingga adonan kuenya terbang ke segala arah. Menempel di tembok, baju, lantai, dan wajahnya.

Aku hanya termangu menatapnya.

“Mama, Dede belat niih!” katanya, dengan ekspresi kesulitan. Aku mengambil mixernya, lalu meneruskan mengaduk kue, menatap miris pada bercak-bercak adonan kue yang berhamburan ke mana-mana, termasuk ke baju Sidiq. Ah, biarlah. Nanti juga hilang kalau sudah dicuci, gumamku. Hingga kue masuk ke dalam oven dan siap sedia 45 menit kemudian, kulihat senyum sumringah di bibir Sidiq.

“Liat nih, kue Dede….” Katanya, bangga.

“Gimana, kuenya enak, gak?” tanyaku, setelah dia mencicipi sepotong.

“Enak, dong!” Sidiq mengangkat jempolnya. Kubelai rambutnya, sambil berucap pelan, “mungkin dia cuma ingin meniruku membuat kue, tapi siapa tahu kelak dia jago membuat kue seperti Chef Bara!” Kubayangkan suatu hari nanti dia benar-benar menyuguhkan kue buatannya sendiri untukku di masa senjaku. Kue yang manis, semanis momen saat membuatnya.

Optimis dan selalu berpikir positif. Menjadi kotor itu baik.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^