Monday, 4 March 2013

Bolehkah Anak-Anak Menonton TV?


“Ini apa namanya, Kak?” tanyaku, pada gambar pelangi yang digambar sendiri oleh anakku di bukunya.

Rainbow! Rainbow!”

Aku terkejut. Tak menduga bila Ismail menyebut “pelangi” dalam bahasa Inggris. Seingatku, aku belum pernah mengajarkan kata itu kepadanya. Bukan hanya itu. Dia juga pernah mengucapkan kata “tolong” dalam bahasa Inggris. “Mama… helphelp….”

Hmmm…. Aku sibuk berpikir dari mana anak sulungku belajar kosa kata itu. Ayahnya juga belum mengajarkan. Saat itu, dia juga belum sekolah, jadi belum bergaul dengan teman-temannya. Akhirnya, aku menemukan jawabannya di film “Dora, The Eksplorer!”


Kedua anakku memang sangat suka film seri Dora, The Eksplorer. Kalau sudah ada Dora, mereka akan menonton dengan konsentrasi tinggi. Film Dora dapat menghipnotis keduanya sampai lupa meminum susu yang sudah di tangan. Untung filmnya tidak lama. Kalau di televisi swasta, ada jeda iklan. Dari Film Dora juga, anak-anakku belajar banyak kosa kata bahasa Inggris, permainan, menyanyi, dan lain-lain.

Ismail, dulu agak terlambat bicara. Usia 2 tahun, belum banyak kata yang dia ucapkan sampai kami sempat ingin membawanya ke terapis. Waktu itu, aku dan suamiku belum punya televisi. Suamiku sempat berprinsip tidak akan memasukkan televisi ke dalam rumah kami, karena lebih banyak keburukannya. Acara-acara televisi tidak baik untuk anak-anak dan cenderung merusak. Untuk mengusir bosan, aku membeli televisi yang dipasang di komputer. Otomatis, tidak bisa sering-sering menonton juga karena listriknya lebih besar. Teve baru ditonton kalau Ismail sudah tidur.

Aku sedih sekali karena anakku belum banyak bicara di usia 2 tahun, sampai menjadi bahan perbincangan di keluarga besar kami. Memang, sebagai Ibu, aku juga kurang banyak bicara. Di rumah, aku hanya berdua dengan Ismail, tidak ada teman bicara. Teman bicaraku ya bayi Ismail. Permasalahannya, aku tidak begitu suka bicara. Aku lebih suka menulis. Istilahnya, pendiam gitu. Jadi, aku kurang menstimulasi Ismail untuk berbicara. Suamiku juga pendiam dan jarang bicara dengan Ismail. Wajarlah kalau Ismail ikut menjadi pendiam.

Sampai kemudian ayahku (kakek Ismail) membelikan televisi untuk kami. Itu karena teve komputer milikku rusak tersambar petir. Rumah rasanya sepi sekali tanpa ada suara teve. Sejak itu, televisi sering dinyalakan karena tinggal klik. Beda kalau teve komputer, harus menyalakan komputer dulu yang super duper lemot (komputer jadul). Acara televisinya dipilih-pilih, karena Ismail juga sering ikut menonton. Kami lebih banyak menonton film kartun. Ternyata, Ismail tertarik menonton film-film kartun itu. Selama menonton, dia fokus memperhatikan.

Sejak sering menonton film kartun, kosa kata Ismail bertambah banyak. Malah bisa dikatakan sekarang ini dia cerewet sekali. Ya, seperti Dora The Eksplorer itu. Dia menirukan Dora yang sedang memecahkan teka-teki. Kadang-kadang dia juga mengucapkan kata dalam bahasa Inggris, seperti yang diucapkan Dora. Sekarang jadi rasanya aneh. Orang tuanya pendiam, tapi anaknya cerewet sekali. Ismail cepat menangkap kata-kata dari film kartun yang ditontonnya. Alhamdulillah, tidak ada kata-kata buruk yang diserapnya. 

Beberapa waktu lalu, publik Indonesia dikejutkan dengan tayangan reality show yang menayangkan jebakan untuk orang yang sedang buang hajat di toilet umum. Tayangan itu sangat tidak beretika dan bermoral, karena membuka privasi orang yang sedang buang hajat. Meskipun sudah disensor, tetap saja kita dapat membayangkan bagaimana si korban dipermalukan karena auratnya terbuka. Stasiun televisi yang bersangkutan berdalih bahwa para korban adalah talent yang dibayar. Walaupun begitu, acara tersebut memberikan pendidikan yang buruk bagi penonton, terutama anak-anak. Dengan kata lain, para penonton diajari untuk mengintip orang yang sedang buang hajat.

Tayangan-tayangan televisi lainnya juga tak sedikit yang menyiarkan tentang kekerasan, pornografi, sinetron-sinetron yang tidak mendidik, komedi yang berlebihan, dan tayangan yang buruk lainnya. Sehingga beberapa kalangan menganjurkan untuk mematikan televisi, bahkan lebih baik lagi jika tidak punya teve. Terlalu banyak menonton televisi juga dianggap akan menghilangkan daya konsentrasi dan meningkatkan obesitas. Orang yang terlalu fokus menonton teve, cenderung abai terhadap kondisi di sekitarnya. Obesitas terjadi bila penonton banyak menghabiskan waktu di depan teve, sambil mengudap cemilan, dan tidak banyak bergerak.

Apa pun itu, termasuk televisi, memiliki dampak baik dan buruk tergantung pemakainya. Oleh karena itu, bukan televisi yang disalahkan atas dampak buruk yang terjadi, melainkan pemakainya. Jika kita tidak bijak dalam memanfaatkan televisi, maka kita akan menuai dampak buruknya. Sebagai orang tua, kita harus memilihkan tayangan-tayangan televisi yang baik dan mendidik untuk putra-putri kita. Orang dewasa telah dapat menyaring dampak buruk televisi, sedangkan anak-anak belum, karena mereka adalah peniru yang ulung. Selain stasiun televisi yang menayangkan acara-acara tak mendidik, banyak juga stasiun televisi yang menayangkan acara-acara mendidik, misalnya TVRI, Spacetoon (TV anak), BChannel (khusus DKI Jakarta dan sekitarnya), MetroTV, TVOne, dan beberapa acara di MNCTV. Kita juga dapat berlangganan TV Kabel dan memilih saluran yang baik dan mendidik, misalnya BabyTV.

Apabila kita melihat tayangan televisi yang buruk, kita juga dapat melaporkannya ke KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). KPI akan menindak stasiun televisi yang bersangkutan, baik dengan memberikan sanksi, denda, maupun pidana tergantung beratnya kesalahan. Intinya, jadilah penonton yang bijak dan dapat memilih tayangan  televisi yang baik. Dampingi anak-anak saat sedang menonton televisi, pilihkan tontonan yang baik, dan batasi waktu menonton agar anak tidak kecanduan menonton teve sehingga melupakan tugas sekolah dan menjadi obesitas.




1 comment:

  1. Seperti internet, televisi itu sarana, tergantung cara penggunaannya ya?

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^