“Ini apa namanya, Kak?” tanyaku,
pada gambar pelangi yang digambar sendiri oleh anakku di bukunya.
“Rainbow! Rainbow!”
Aku terkejut. Tak menduga bila
Ismail menyebut “pelangi” dalam bahasa Inggris. Seingatku, aku belum pernah
mengajarkan kata itu kepadanya. Bukan hanya itu. Dia juga pernah mengucapkan
kata “tolong” dalam bahasa Inggris. “Mama… help…
help….”
Hmmm…. Aku sibuk berpikir dari
mana anak sulungku belajar kosa kata itu. Ayahnya juga belum mengajarkan. Saat
itu, dia juga belum sekolah, jadi belum bergaul dengan teman-temannya. Akhirnya,
aku menemukan jawabannya di film “Dora, The Eksplorer!”
Kedua anakku memang sangat suka
film seri Dora, The Eksplorer. Kalau sudah ada Dora, mereka akan menonton
dengan konsentrasi tinggi. Film Dora dapat menghipnotis keduanya sampai lupa
meminum susu yang sudah di tangan. Untung filmnya tidak lama. Kalau di televisi
swasta, ada jeda iklan. Dari Film Dora juga, anak-anakku belajar banyak kosa
kata bahasa Inggris, permainan, menyanyi, dan lain-lain.
Ismail, dulu agak terlambat
bicara. Usia 2 tahun, belum banyak kata yang dia ucapkan sampai kami sempat
ingin membawanya ke terapis. Waktu itu, aku dan suamiku belum punya televisi. Suamiku
sempat berprinsip tidak akan memasukkan televisi ke dalam rumah kami, karena
lebih banyak keburukannya. Acara-acara televisi tidak baik untuk anak-anak dan
cenderung merusak. Untuk mengusir bosan, aku membeli televisi yang dipasang di
komputer. Otomatis, tidak bisa sering-sering menonton juga karena listriknya
lebih besar. Teve baru ditonton kalau Ismail sudah tidur.
Aku sedih sekali karena anakku
belum banyak bicara di usia 2 tahun, sampai menjadi bahan perbincangan di
keluarga besar kami. Memang, sebagai Ibu, aku juga kurang banyak bicara. Di
rumah, aku hanya berdua dengan Ismail, tidak ada teman bicara. Teman bicaraku
ya bayi Ismail. Permasalahannya, aku tidak begitu suka bicara. Aku lebih suka
menulis. Istilahnya, pendiam gitu. Jadi, aku kurang menstimulasi Ismail untuk
berbicara. Suamiku juga pendiam dan jarang bicara dengan Ismail. Wajarlah kalau
Ismail ikut menjadi pendiam.
Sampai kemudian ayahku (kakek
Ismail) membelikan televisi untuk kami. Itu karena teve komputer milikku rusak
tersambar petir. Rumah rasanya sepi sekali tanpa ada suara teve. Sejak itu,
televisi sering dinyalakan karena tinggal klik. Beda kalau teve komputer, harus
menyalakan komputer dulu yang super duper lemot (komputer jadul). Acara
televisinya dipilih-pilih, karena Ismail juga sering ikut menonton. Kami lebih
banyak menonton film kartun. Ternyata, Ismail tertarik menonton film-film
kartun itu. Selama menonton, dia fokus memperhatikan.
Sejak sering menonton film kartun,
kosa kata Ismail bertambah banyak. Malah bisa dikatakan sekarang ini dia
cerewet sekali. Ya, seperti Dora The Eksplorer itu. Dia menirukan Dora yang
sedang memecahkan teka-teki. Kadang-kadang dia juga mengucapkan kata dalam
bahasa Inggris, seperti yang diucapkan Dora. Sekarang jadi rasanya aneh. Orang
tuanya pendiam, tapi anaknya cerewet sekali. Ismail cepat menangkap kata-kata
dari film kartun yang ditontonnya. Alhamdulillah, tidak ada kata-kata buruk
yang diserapnya.
Beberapa waktu lalu, publik
Indonesia dikejutkan dengan tayangan reality show yang menayangkan jebakan
untuk orang yang sedang buang hajat di toilet umum. Tayangan itu sangat tidak
beretika dan bermoral, karena membuka privasi orang yang sedang buang hajat.
Meskipun sudah disensor, tetap saja kita dapat membayangkan bagaimana si korban
dipermalukan karena auratnya terbuka. Stasiun televisi yang bersangkutan
berdalih bahwa para korban adalah talent yang dibayar. Walaupun begitu, acara
tersebut memberikan pendidikan yang buruk bagi penonton, terutama anak-anak.
Dengan kata lain, para penonton diajari untuk mengintip orang yang sedang buang
hajat.
Tayangan-tayangan televisi
lainnya juga tak sedikit yang menyiarkan tentang kekerasan, pornografi, sinetron-sinetron
yang tidak mendidik, komedi yang berlebihan, dan tayangan yang buruk lainnya. Sehingga
beberapa kalangan menganjurkan untuk mematikan televisi, bahkan lebih baik lagi
jika tidak punya teve. Terlalu banyak menonton televisi juga dianggap akan
menghilangkan daya konsentrasi dan meningkatkan obesitas. Orang yang terlalu
fokus menonton teve, cenderung abai terhadap kondisi di sekitarnya. Obesitas
terjadi bila penonton banyak menghabiskan waktu di depan teve, sambil mengudap
cemilan, dan tidak banyak bergerak.
Apa pun itu, termasuk televisi,
memiliki dampak baik dan buruk tergantung pemakainya. Oleh karena itu, bukan televisi
yang disalahkan atas dampak buruk yang terjadi, melainkan pemakainya. Jika kita
tidak bijak dalam memanfaatkan televisi, maka kita akan menuai dampak buruknya.
Sebagai orang tua, kita harus memilihkan tayangan-tayangan televisi yang baik
dan mendidik untuk putra-putri kita. Orang dewasa telah dapat menyaring dampak
buruk televisi, sedangkan anak-anak belum, karena mereka adalah peniru yang
ulung. Selain stasiun televisi yang menayangkan acara-acara tak mendidik,
banyak juga stasiun televisi yang menayangkan acara-acara mendidik, misalnya
TVRI, Spacetoon (TV anak), BChannel (khusus DKI Jakarta dan sekitarnya), MetroTV,
TVOne, dan beberapa acara di MNCTV. Kita juga dapat berlangganan TV Kabel dan
memilih saluran yang baik dan mendidik, misalnya BabyTV.
Apabila kita melihat tayangan
televisi yang buruk, kita juga dapat melaporkannya ke KPI (Komisi Penyiaran
Indonesia). KPI akan menindak stasiun televisi yang bersangkutan, baik dengan
memberikan sanksi, denda, maupun pidana tergantung beratnya kesalahan. Intinya,
jadilah penonton yang bijak dan dapat memilih tayangan televisi yang baik. Dampingi anak-anak saat
sedang menonton televisi, pilihkan tontonan yang baik, dan batasi waktu
menonton agar anak tidak kecanduan menonton teve sehingga melupakan tugas
sekolah dan menjadi obesitas.
Seperti internet, televisi itu sarana, tergantung cara penggunaannya ya?
ReplyDelete