Anak yang satu itu cukup menarik
perhatian. Ketika anak-anak lain sudah bisa menggambar , mewarnai, menulis
angka dan huruf, dia bahkan tak bisa memegang pensil. Selidik punya selidik,
orang tuanya melarang dia mencoret-coret tembok, tetapi juga tak memberikan
sarana lain untuk belajar. Kalau sudah begitu, saya bersyukur memberikan
kebebasan berkreasi kepada kedua anak saya: Ismail (6 tahun) dan Sidiq (5
tahun).
Thursday, 31 October 2013
Tampil Keren dan Stylist dengan Notebook Tipis
“Ada yang punya laptop?” si mas wartawan bertanya. Kami
celingukan, saling melirik dan bertanya. Laptop mana laptop? Haiyaaaah… katanya
penulis dan blogger, tapi gak ada yang bawa laptop. Apalagi saya, mana mungkin
bawa laptop? Memikirkannya saja sudah ngeri. Ini bukan lebay. Saat ini kalau
mau bepergian, saya harus bawa tiga anak! Yap, tiga anak. Itu yang bikin saya
pikir-pikir lagi kalau ada undangan blogger atau apa pun yang berkaitan dengan
tulis menulis.
Thursday, 24 October 2013
Emak Produktif dengan Notebook Tipis
Mau ngetik, laptopnya dikuasai anak-anak, hiks... Acer Aspire V3-471 |
Ssssst… kelihatannya kondisi
sudah aman. Pelan-pelan, saya membuka laptop Acer Aspire V3-471 yang selama ini
menemani mengetik, daaaan…. Treeeengg…. O-ooow… rupanya speakernya kebesaran
gara-gara semalam dipakai nonton film sama suami dan anak-anak. Alhasil…. “Waaaaa…”
Bayi saya yang tadi sudah tertidur, bangun lagi deh….
Wednesday, 23 October 2013
Time Goes On....
Tak terasa anak-anak saya sudah semakin besar. Ketika mengawali tumbuh kembang Salim, saya kok seperti sudah lupa dengan tumbuh kembang kakak-kakaknya. Mungkin karena dulu begitu repotnya mengasuh mereka, jadi saya nyaris lupa momen-momen penting bersama keduanya. Usia yang berdekatan, membuat saya kocar-kacir mengurus satu per satu.
Monday, 21 October 2013
Dari Mama Untuk Pemimpin Kecil
Sidiq sedang bernyanyi |
Apakah seorang pemimpin itu
adalah Presiden? Direktur? Jenderal? Bagaimana jika kelak anak kita “hanya”
menjadi orang yang “biasa-biasa” saja? Apakah kita akan memperlihatkan wajah
kecewa di hadapannya?
Label:
family blogger,
mama blogger,
mom blogger,
Parenting
Mengenang Kisah Bersama Ayah
Saya dan Ayah |
Sore kemarin, ketika saya sedang
memasak, ponsel bergetar menandakan ada telepon masuk. Ayah, itulah nama yang
tertera di display. Bukan suami saya, melainkan kakeknya anak-anak, yaitu ayah
saya. Suaranya terdengar lemah, saya sudah menduga, pasti sakit lagi. Ayah
memang menderita diabetes dan tekanan darah tinggi. Sudah dua kali ke dokter,
tetapi rasa pusing yang dideritanya belum reda juga.
Friday, 18 October 2013
Anakku Sehat Tanpa Dokter: Lepaskan Ketergantungan dari Berobat ke Dokter
credit |
Judul: Anakku Sehat Tanpa Dokter (ASTD)
Penulis: Sugi Hartati, S.Psi
Penerbit: Stiletto Book, April 2013
Halaman: 201
ISBN: 978-602-7572-14-0
Harga: Rp 40.000
Terakhir kali saya pergi ke
dokter anak, rasanya mengesalkan sekali. Saya harus menunggu berjam-jam hanya
untuk mendapatkan bagian lima menit memeriksakan kondisi anak saya dan
mendapatkan resep dokter. Mengantri di
dokter anak adalah pekerjaan menjemukan. Entah di dokter anak yang mana saja,
selalu mengantri. Sepertinya banyak orang tua yang percaya bahwa anak sakit,
harus ke dokter, walaupun penyakitnya umum, semacam flu, batuk, dan pilek.
Monday, 14 October 2013
Tak Perlu Tepuk Tangan dan Pujian untuk Sebuah Kebanggaan
Apa arti kebanggaan buat saya?
Kebanggaan itu ketika melihat
Ismail mengikuti lomba peragaan busana di acara kartinian di sekolahnya. Ismail adalah anak sulung saya. Usianya 6
tahun, bulan Desember nanti. Saya tak begitu mempersiapkan busananya, yang
penting dia ikutan. Melihatnya bisa tampil di depan guru dan teman-teman
sekolahnya saja sudah membuat saya senang, karena dia jarang bergaul dan
cenderung pemalu. Busananya biasa saja, karena saya sudah kehabisan saat
memesan di jasa persewaan baju adat. Saya tak memikirkan dia menang atau kalah,
yang penting dia sudah maju ke depan. Pada akhirnya, dia memang tidak menang.
Hanya mendapatkan piala keikutsertaan yang saya tebus dengan biaya
keikutsertaan sebesar Rp 20.000.
Thursday, 10 October 2013
Tiga Gaya Hijab Tanpa Banyak Biaya
Sejak menjadi ibu rumah tangga
dan memiliki tiga anak balita, saya cenderung suka memakai hijab instan atau
pashmina, sampai-sampai koleksi hijab
segi empat pun menganggur. Sebagian ada
yang saya hibahkan, sebagian lagi masih tersimpan karena siapa tahu kapan-kapan
saya pakai lagi. Dulu waktu masih gadis, saya memang lebih banyak pakai hijab
segi empat dengan brosnya. Gak terasa repotnya sih, asik-asik aja. Begitu punya
anak, kok ya repot memakainya. Belum lagi kalau anak-anak meraih brosnya atau
menarik-narik hijabnya, susah benerinnya lagi.
Drama Pagi dan Malam oleh Anak-anak Saya
Setiap pagi menjelang berangkat ke sekolah, dan malam hari menjelang tidur, pasti ada saja drama yang dipentaskah oleh anak-anak saya, membuat mamanya harus tarik urat leher untuk beberapa lama. Drama pagi, seringnya sih anak-anak gak mau ke sekolah dengan berbagai alasan. Padahal waktu untuk mempersiapkan mereka amat terbatas, secara keduanya masih harus dimandikan, dipakaikan baju, dan disuapi makan.
Thursday, 3 October 2013
Kuingin Selalu Menyebutmu "Cinta"
“Mamah dan Ayah jatuh cinta,
terus jadi keluar bayi…..”
Saya menoleh mendengar Ismail
bercerita seperti itu kepada neneknya. Maiiiil…. Ngapain juga ngomong gitu ke
Nenek??? Tadinya, Ismail (6 tahun), saya suruh telepon neneknya. Dari ngobrol-ngobrol
yang masih wajar, tiba-tiba saja dia ngomong begitu ke neneknya. Namanya juga
anak-anak, kalau ngomong suka
lompat-lompat. Tapi, kalau cerita “Mamah dan Ayah jatuh cinta, terus jadi
keluar bayi” itu rasanya… seperti bukan sesuatu yang bagus buat diomongin,
wkwkwkwk….
Tuesday, 1 October 2013
Aduh, Susahnya Bikin Bento!
“Bu, ini bekalnya gak dimakan. Kasihan, katanya….”
Masih saya ingat ekspresi Bu Win,
salah seorang guru PAUD anak saya, Sidiq, menunjukkan bekal makan Sidiq yang
masih penuh. Setahun yang lalu, Sidiq baru berusia 3,5 tahun dan saya mencoba
memaasukkannya ke PAUD dekat rumah (walau akhirnya berhenti lagi karena mogok
sekolah). Peraturan PAUD meminta para
wali murid membawakan bekal makan yang sehat untuk anak-anak. Harus saya akui
bahwa saya bukan Ibu yang telaten dalam urusan bekal makanan. Apalagi saat itu
baru punya bayi (anak ketiga) dan tidak ada asisten. Di awal masuk PAUD, saya
memberikan makanan ringan sebagai bekal. Akibat peraturan itu, saya harus
menyiapkan makanan berat (nasi dan lauk pauk).
Subscribe to:
Posts (Atom)