Saya dan Ayah |
Sore kemarin, ketika saya sedang
memasak, ponsel bergetar menandakan ada telepon masuk. Ayah, itulah nama yang
tertera di display. Bukan suami saya, melainkan kakeknya anak-anak, yaitu ayah
saya. Suaranya terdengar lemah, saya sudah menduga, pasti sakit lagi. Ayah
memang menderita diabetes dan tekanan darah tinggi. Sudah dua kali ke dokter,
tetapi rasa pusing yang dideritanya belum reda juga.
“Ayah pusing lagi….” Begitu
keluhnya. Ayah menceritakan penyakitnya yang kambuh lagi, diperparah dengan
perutnya yang kosong karena ketiadaan makanan di rumah. Kedua adik saya yang
masih tinggal bersama Ayah, selalu
pulang menjelang Isya. Yang satu sudah bekerja, satu lagi masih SMA. Ah, saya
bingung bagaimana mau menanggapi keluhan Ayah, karena rumah saya berjauhan
dengan Ayah. Biasanya saya menjenguknya di akhir pekan, membawa ke dokter atau membelikan
makanan dan susu khusus penderita diabetes. Saya tak bisa merawat Ayah sepenuh
waktu karena telah berkeluarga.
“Ayah gak minta apa-apa, cuma mau
cerita saja,” kata Ayah, ketika saya tanyakan apakah beliau mau ke dokter lagi?
Dan apakah persediaan makanannya sudah habis?
Saya termenung. Kasihan Ayah. Ibu
saya sudah meninggal sejak tujuh tahun lalu, dan Ayah tak ingin menikah lagi. Saya
pikir seharusnya memang Ayah menikah lagi, tetapi beliau punya alasan kuat
untuk tetap sendiri.
Ayah saya mungkin bukan ayah yang
terbaik di dunia. Iya, saya bilang begitu karena sewaktu saya kecil dulu, Ayah
adalah seorang ayah yang galak. Ayah sangat ketat mendidik anak-anaknya,
terutama pendidikan agama. Kami diajari salat dan mengaji dengan rutin. Setelah
agak besar, kami harus salat di masjid dan mendengarkan ceramah. Tidak boleh
menginap di rumah teman, apalagi yang rumahnya jauh. Tidak boleh keluar malam
melebihi jam 9 malam. Peraturan itu sangat mengekang, tetapi manfaatnya kini
amat saya rasakan. Saya menjadi pribadi yang sangat menjaga diri, takut kepada
Allah, tidak berani melakukan hal-hal negatif yang bisa membuat murka Allah dan
orang tua.
Saya yakin tindakan disiplin Ayah
sejatinya adalah untuk saya sendiri. Walaupun keras dan disiplin, Ayah juga
sangat menyayangi keempat putrinya. Saya ingat peristiwa manis ketika saya
dipanggil untuk wawancara pekerjaan di sebuah bank Negara di Jakarta. Kami
tidak punya motor, apalagi mobil. Tetapi, Ayah mau mengantar saya berangkat
pagi (karena ujian jam ½ 8), menembus kemacetan Jakarta. Naik ojek, lalu taksi.
Ternyata macet, kami naik ojek lagi, disambung dengan bus Transjakarta.
Alhamdulillah, sampai juga di tempat wawancara tepat waktu. Hasilnya? Saya
tidak lolos di ujian keempat. Ah, rasanya sedih sekali sudah mengecewakan Ayah.
Kemudian, di bulan Ramadan, Ayah
kembali mengantarkan saya pergi menaruh surat lamaran di kantor Sekeretarian Negara.
Siang-siang dalam keadaan berpuasa, kami berjalan kaki dari tempat
pemberhentian bus, menuju kantor SekNeg. Mampir dulu ke Masjid Istiqlal untuk
salat dan menyegarkan tubuh. Kami melihat sebuah warung makan pinggir jalan
yang penuh dengan karyawan laki-laki sedang makan di siang hari bulan Ramadan. Saya
memandang wajah Ayah yang masih bersemangat. Alhamdulillah, bersyukur memiliki
ayah yang saleh, yang tetap berpuasa sampai kini di usia 60 tahun, meskipun
tubuhnya sudah diserang banyak penyakit.
Terima kasih, Ayah. Semoga kau
selalu sehat dan bahagia.
Bersama Ayah, setahun lalu di wisuda adik saya |
mba leyla mirip deh sama adiknya *salah fokus
ReplyDeleteIya mb, memang mirip banget XD
DeleteSemoga ayahnya senantiasa diberi kesehatan trs sama Allah SWT ya Mbak
ReplyDeleteKeinginan untuk menjaga sendiri orang tua memang ada ya Mbak...saya juga sedih karena tidak bisa menjaga orang tua sendiri.
ReplyDelete