Sunday 24 March 2013

Ibu Bekerja Ingin Me Time?

"Mama hebat, deh!" kata Sidiq

Suatu sore, usai membuatkan susu untuk Sidiq, anak keduaku yang berumur 4 tahun itu menatapku, dalam. Dari mulutnya terucap kata yang mengejutkan,

“Mama hebat, deh.”

Aku mengerutkan kening. Ada rasa ge-er menyelinapi hatiku.

“Kenapa Dede bilang Mama hebat?” tanyaku, membalas tatapan matanya yang romantis.

Sidiq berpikir sejenak sambil senyum-senyum, lalu….

“Mama buatin Dede susu.”


Ah! Ternyata hanya karena itu. Betapa sederhananya definisi hebat bagi seorang anak usia 4 tahun. Aku terharu hingga berkaca-kaca. Hanya karena telah membuatkannya susu, dia menyebutku hebat. Kukira apa. Seorang temanku yang pernah kuliah di Psikologi menjelaskan bahwa, bagi seorang anak, arti hebat itu manakala kita melakukan sesuatu yang memenuhi kebutuhan dasarnya. Aku sudah membuatkan susu untuk Sidiq, dan memang aku yang paling sering membuatkannya susu, sehingga tertanamlah di benaknya bahwa aku yang selalu memenuhi kebutuhan dasarnya. Bagi balita, susu adalah makanan paling berharga dalam hidupnya. Penyambung nyawa. Dan aku-lah yang paling sering menyediakan makanan berharga itu untuknya (meski belinya pakai uang ayahnya).

Bila mengingatnya, aku merasa bahagia telah memilih menjadi ibu rumah tangga total, menemani anak-anakku sepanjang hari. Tidak punya asisten rumah tangga. Setiap hari kurasakan letih menjalari tubuhku dan emosi yang kerap naik ke ubun-ubun. Hanya suamiku yang menyimpan keluhanku. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga itu kecil. Sungguh, aku bisa menyelesaikan semuanya dalam waktu setengah hari. Yang paling berat adalah: mengasuh anak-anak. Tiga anak bayi dan balita yang semua keperluan mereka masih harus diladeni. Sahut-sahutan meminta susu, makan, cebok, bertengkar, menangis, berteriak-teriak. Kepalaku rasanya ingin pecah. Namun, semua pengorbananku itu terbalas dengan kalimat-kalimat cinta yang sering keluar dari mulut mereka tanpa rekayasa.

“Dede sayang Mama….”

“Dede cuma mau sama Mama.”

“Mama cantik, deh.”

“Dede maunya tidul sama Mama….”

Maka, begitu emosinya aku manakala membaca artikel di sebuah situs wanita yang berjudul: “Me time untuk ibu bekerja.” Ealaaah… ibu bekerja minta “me time”? Me time, diartikan waktu untuk sendiri, misalnya saja jalan-jalan sendiri, ke salon, nonton, bersenang-senang, tanpa harus “diganduli” anak-anak. Ini bukan masalah antara ibu bekerja dan ibu rumah tangga full. Aku menghargai pilihan setiap ibu, apakah ingin tetap bekerja atau di rumah. Namun, ketika seorang wanita memutuskan untuk menikah, dia harus menyadari bahwa kelak waktunya tak akan dikuasainya sendiri. Dia punya suami dan anak-anak yang harus mendapatkan bagian dari waktunya, dan terutama: anak-anak.

Anak-anak membutuhkan figure seorang ibu. Jadi, bila seorang ibu sudah bekerja di luar rumah dan terpisah dari anak-anak selama 12 jam (bisa lebih), lalu masih minta “me time”, apakah itu bukan egois, namanya? Lalu, kapan waktu untuk anak-anak? Dengan seorang ibu memutuskan untuk bekerja, dia sudah mendapatkan “me time”nya. Ya, bagiku, “me time” adalah saat aku mendapatkan waktu untuk menulis, yang mana itu adalah pekerjaan sekaligus hobiku. Aku mendapatkan dua kesenangan di sana: materi, bila tulisanku menghasilkan, dan kesenangan melakukannya. Sebagai ibu rumahan, aku tak bisa banyak mendapatkan me time. Tidak bisa setiap  hari kudapatkan waktu untuk sendiri dan melakukan kesenanganku. Anak-anak tak bisa ditebak. Kadang mereka sudah tidur jam 7 malam, eh tahu-tahu bangun lagi jam 9 malam. Kadang mereka tidak tidur-tidur. Dan lebih seringnya, aku terlalu capai setelah seharian mengurus rumah dan anak-anak, sehingga tak bisa melakukan apa-apa.

Sementara itu, seorang ibu pekerja, otomatis setiap hari mendapatkan “me time”nya. Dan anak-anak-lah yang dikorbankan waktunya, karena anak-anak nomor dua. Nomor satu, sudah tentu pekerjaan. Anak-anak dititipkan kepada asisten. Jadi, kalau ibu bekerja masih ingin me time? Hmm… baiknya, baca dulu penuturan jujur dari Mak Elisa Koraag, seorang mantan ibu bekerja, di blognya www.elisakoraag.blogspot.com dengan judul “Akhirnya mereka katakan “Mama is the best!

Aku sudah membaca tulisan ini sebelum ada even giveaway yang diadakan Mak Elisa Koraag, sesama member di grup Emak-Emak Blogger. Waktu itu aku sedang mencari referensi untuk lomba blog yang disponsori sebuah produk susu dan aku bertemu dengan blog Mak Elisa. Aku belum pernah bertukar sapa dengannya, tapi aku jadi  mengenalnya melalui tulisan-tulisan di blognya. Seperti biasa saat blogwalking ke sesama blogger, aku membaca tulisan-tulisannya yang lain dan aku tertarik untuk membaca artikel tersebut di atas. Hatiku bergetar saat membacanya. Inilah pengakuan jujur seorang mantan ibu bekerja, yang pernah larut dalam pekerjaannya dan menomorduakan anak-anak.

“Sejak sebelum menikah hingga mempunyai anak, aku adalah wanita bekerja. Praktis, waktuku bersama keluarga sangat sedikit. Dalam sebulan, aku melakukan perjalanan dinas 2-3 kali, dengan rentang waktu 3-10 hari. Pernah di suatu waktu, bungsuku bertanya, “mengapa hanya mamaku yang tidak pernah muncul di sekolah?” Urusan sekolah anak-anak, memang papanya anak-anak yang menangani. Ada sedikit rasa iri. Bukan itu saja. Bahkan saat anak-anak mengucapkan kata pertama, yang diucapkan adalah Papa. Januari 2011, aku mengambil keputusan berhenti bekerja.

 Ternyata tidak mudah. Perjuanganku dimulai dari nol. Sebagai ibu, ternyata aku tidak bisa apa-apa. Bagi kedua anakku, keberadaanku di rumah membuat mereka tidak nyaman. Kedua anakku sangat tidak mandiri, karena selalu dibantu oleh asisten. Ketika aku menerapkan aturan, kedua anakku tidak menyukaiku. Tahun 2011, aku anggap sebagai tahun kebangkitanku sebagai istri dan ibu. Nyaris setiap malam aku berkeluh kesah dan menangis kepada suamiku. Aku merasa tidak diterima anak-anak dan tidak mengenal mereka. Pelan-pelan aku berusaha mengenali mereka dan sifat keduanya.

Aku mulai mengenali mereka secara utuh, di saat usia keduanya 11 tahun dan 8 tahun. Better late than never. Kini, kedua anakku sudah mengatakan: “Mamaku is the best!” Ucapan itu jauh lebih berharga daripada hadiah apa pun di muka bumi ini. Ucapan itu merupakan bentuk pengakuan mereka akan keberadaanku. Aku seorang ibu yang mulanya hanya melahirkan mereka. Kini, aku ibu yang mereka miliki.”

Sungguh, aku terharu ketika membaca catatan Mak Elisa itu, sampai harus menahan airmata. Betapa kita—aku, khususnya—sibuk mencari pengakuan (eksistensi) di luar sana, tapi lupa pada yang di rumah. Bahwasanya bagi seorang anak, eksistensi seorang ibu adalah keberadaannya di sisi mereka. Kemampuan seorang ibu melayani kebutuhan dasar mereka. Bukanlah ibu yang hebat di mata anaknya, yang memiliki karir memukau di luar sana, lalu mengabaikan anak-anak. Inilah yang membuatku tersinggung, bila seorang ibu bekerja masih menginginkan “me time.”

Ketika sudah sampai di rumah, simpan berkas-berkas pekerjaanmu. Sembunyikan gadgetmu. Luangkan waktu untuk anak-anakmu. Peluk dan cium mereka. Dengarkan cerita mereka. Belajarlah dari kisah Mak Elisa. Terima kasih, Mak Elisa, sudah berbagi kisah ini. Menguatkan keteguhanku untuk tetap di rumah, bersama anak-anakku.



2 comments:

  1. Wiiih cool...
    Mamaku workaholic dan dia jd gak kenal anak2nya :(
    klo aku maunya sih tetep kerja tp yang supersingkat waktunya (saat anak sekolah misalnya).. no way deh kerja 8-5 :D

    ReplyDelete
  2. Ternyata ini diikutkan dalam kontes Giveaway yah,,sukses yah :)

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^