Sidiq dan bayi Teddy-nya :D |
“Ayah, liat nih…. Bayinya mau lahir….” Sidiq, 3 tahun, memperlihatkan
perutnya yang diganjal dengan bak mainan berbentuk bulat. Di dalamnya ada
boneka teddy berwarna merah jambu, pemberian tantenya. Saat ayahnya melihat ke
arahnya, boneka teddy itu dikeluarkan dari bak mainan, lalu Sidiq menirukan
suara bayi.
Ayahnya tertawa. Aku juga, meskipun sudah pernah melihat
adegan itu sebelumnya. Sidiq memang sedang suka bermain bayi-bayian, sejak dia
tahu mamanya, alias aku, hamil lagi anak ketiga. Aku sudah sering membicarakan
soal kehamilanku itu kepada anak-anakku. Aku bilang kalau di perutku sedang ada
dede bayi yang akan lahir sebentar lagi.
Soal proses kelahiran bayi yang diperagakan oleh Sidiq,
mulanya aku bingung, dari mana Sidiq tahu? Ternyata, Sidiq dan Ismail, kakaknya
yang baru berumur 4 tahun, pernah melihat-lihat buku panduan kehamilan milikku.
Di dalamnya banyak gambar ibu melahirkan. Gambarnya sebenarnya porno, meskipun
bukan gambar manusia asli, tapi bagi anak-anakku, itu tidak porno. Justru
membuat mereka tahu bagaimana proses kelahiran bayi.
Setelah itu, Sidiq menyuruhku menyusui boneka teddynya.
Hadeuuh… pintar sekali anakku itu. Boneka teddy itu mulanya membuat kesal
suamiku, karena diberikan oleh adikku kepada anak-anakku yang notabene anak
laki-laki semua. Masa anak laki-laki dikasih boneka? Tapi karena sudah
terlanjur, ya sudahlah. Mulanya boneka itu tak terpakai, karena anak-anak lebih
suka bermain mobil-mobilan. Sejak aku hamil itulah, si teddy jadi bayi-bayian.
Kadang-kadang, Sidiq memang menggemaskan dan menakjubkan.
Perilakunya sukar diduga. Lebih sering sih membuat aku marah. Herannya, kalau sedang kumarahi, dia malah
menangis dan memelukku, seakan-akan takut ditinggalkan olehku. Segala teori
parenting sudah kulahap mengenai cara menangani anak ajaib. Prakteknya, susah
bukan main. Menjadi ibu yang full mengasuh anak-anak selama 24 jam, benar-benar
harus sabar dan tahan banting.
Tingkah polah anak-anakku, terutama Sidiq, ada saja yang
membuatku kesal. Setiap hari selalu saja mengujiku. Padahal, tugasku hanya
mengasuh anak-anak, tetapi capainya bukan main. Capai tegang urat leher dan
mata karena melotot dan marah. Rumah
sudah bersih dan rapi, eh tak lama semua barang diturunkan lagi ke lantai. Mukenaku,
sarung dan sajadah untuk salat, handuk bersih, seprai tempat tidur, dan
sebagainya, semua dihamparkan di lantai, ladalah…. Sidiq pipis di atas mukena
dan peralatan salat suamiku. Grrrrgh……
Pernah, Sidiq mencuci karpet di ruang tamu dengan air
seember. Tindakannya itu sebenarnya
bagus, dia ingin mencuci karpet yang diberaki kelelawar. Masalahnya, dia mencuci di ruang tamu dengan
air seember. Pernah juga saat hujan lebat dan petir menggelegar, Sidiq mengajak
Ismail bermain hujan-hujanan. Pagar rumah dibuka lebar, lalu berhamburanlah
mereka ke luar menyambut hujan. Barangkali tak masalah bila tak ada petir.
Masalahnya adalah petirnya garang sekali, sedangkan depan rumahku itu halaman
luas. Khawatir anak-anakku tersambar petir. Saat itu aku sedang ngidam hamil
muda, terkapar di ranjang. Kupaksakan bangun demi memasukkan anak-anakku ke
dalam rumah. Pagar sudah kukunci, tapi anak-anakku sudah bisa membuka kuncinya.
Dibandingkan Ismail, Sidiq memang lebih banyak memiliki
ide-ide ajaib, kalau tidak mau disebut mengesalkan. Sedangkan Ismail lebih suka
menggambar, menonton film kartun, dan
melihat-lihat buku cerita, karena dia belum bisa membaca. Sidiq memang tidak bisa diam, ada saja yang dikerjakannya, dan lebih sering
bikin mata mamanya melotot.
Semua kekesalanku itu kubagi dengan suamiku melalui sms.
Aku memang sering mengirim sms ke suamiku di kantor, kalau sedang
pusing-pusingnya menangani anak-anak. Awalnya, suamiku cuek saja. Katanya sih,
dia tak tahu mau menjawab apa. Suamiku memang kurang komunikatif,
meskipun bekerja sebagai karyawan di perusahaan telekomunikasi. Aneh, memang.
Padahal kuliahnya dulu juga di jurusan Marketing, tapi kok ya irit bicara, baik
lisan dan tulisan. Kalau aku
sudah marah-marah via sms, baru dia menjawab. Jawabannya standar saja,
“Ya, sabar, dong….”
“Mau bagaimana lagi?”
“Aku gak tahu harus bagaimana…..”
Dalam urusan menahan marah, suamiku memang lebih jago. Suaranya ditakdirkan lembut dan pelan, meski
jenis kelaminnya laki-laki. Kalau menelepon, aku sering menyuruhnya bersuara
lebih keras lagi karena tak terdengar. Dalam
urusan menangani anak-anak pun, dia lebih sabar. Hmm… bisa jadi karena dia tak
perlu seharian berada di rumah. Dia tak
tahu bagaimana rasanya menangani anak-anak seharian. Tapi, kalau hari libur,
aku serahkan anak-anak kepadanya. Mau senakal apa pun anak-anak, dia tangani
dengan kalem. Lebih seringnya sih cuek. Kalau aku, mana bisa cuek?
Memandikan anak-anak, dilakukan dengan happy. Malah memberikan fasilitas yang
membuat anak-anak jadi lama mandinya. Setelah
diceburkan ke kolam renang plastic, suamiku sibuk menambal ban renang yang
bocor. Semua supaya anak-anak senang. Usai memandikan, lalu menyuapi makan. Itupun
dilakukan dengan telaten dan sabar, makanan harus habis. Sedangkan aku lebih
sering tak sabar. Kalau anak-anak tak mau makan lagi, ya sudah. Kubiarkan saja
menyisa. Suamiku akan menunggu dengan sabar sampai anak-anak mau makan lagi.
Saat aku sedang tak mau diganggu dengan anak-anak,
suamiku akan mengajak anak-anak pergi dengan motor atau mobil. Itu waktu aku
ngidam hamil muda, rasanya pusing sekali mendengar anak-anak ribut dan
berloncatan di kasur tempatku berbaring. Pernah, suamiku pergi ke Depok bertiga
saja dengan anak-anak. Kupikir mereka hanya pergi sebentar, tahunya lamaaa…. Eh, tak disangka, suamiku bisa menangani
anak-anak tanpa bantuanku. Padahal aku khawatir anak-anak mengompol di jalan.
Mereka tidak memakai diapers, tapi
suamiku tahu bagaimana mengatasinya.
Setiap beberapa menit, dia akan bertanya apakah anak-anak mau pipis? Kalau mau
pipis, dia akan berhenti di pom bensin atau masjid terdekat. Wah, ternyata
suamiku bisa juga mengasuh anak.
Tentu
saja, awalnya suamiku tidak begitu. Saat taaruf, terang-terangan dia bilang
kalau dia tidak suka anak kecil. Dia tidak tahu bagaimana bergaul dengan anak
kecil. Lalu, saat Ismail lahir, menggendong pun tak mau dengan alasan takut
kenapa-kenapa. Setelah Ismail berusia tiga bulan, suamiku tetap susah diminta
menggendong dan mengajak main anaknya sendiri. Ketika kami belum memakai jasa
pembantu, suamiku memilih membantu pekerjaan rumah tangga daripada memegang
Ismail. Setelah Sidiq lahir pun, suami lebih suka menyediakan pembantu rumah
tangga daripada membantuku mengurus anak.
Perlu
proses dan komunikasi yang panjang untuk bisa membuat suamiku menyayangi
anak-anaknya sendiri. Dalam perbincangan-perbincangan kami, sering kuselipkan kritikan
kepadanya yang kurang dekat dengan anak-anak. Sudah berangkat pagi, pulang
malam, sampai di rumah malah sibuk menonton teve atau menekuri layar
blackberrynya. Aku sering menyindirnya dengan menanyakan kepada anak-anak,
siapa yang mereka pilih; Ayah atau Mamah? Sudah tentu anak-anak menjawab kompak
bahwa mereka memilih mamanya. Suamiku langsung cemberut, tidak senang.
Suamiku
akan protes kalau aku galak kepada anak-anak, tapi aku berdalih, biarpun galak,
anak-anak tetap memilihku daripada ayahnya. Ya iyalah… ayahnya tidak mau dekat
dengan anak-anak. Mungkin karena kata-kataku itu, perlahan suamiku berubah. Dia
memang tidak galak kepada anak, tapi juga tidak dekat. Kehamilan ketigaku ini
semakin membuat suamiku dekat dengan anak-anak. Aku katakan kepadanya, dari
sekarang dia harus dekat dengan Ismail dan Sidiq, karena nanti saat adiknya
lahir, siapa lagi yang mengurus Ismail dan Sidiq kalau bukan ayahnya?
Alhamdulillah,
bahkan menyeboki Ismail dan Sidiq pun, suami sudah mau kalau aku benar-benar
berhalangan. Jauh dari dalam lubuk hatinya, aku tahu suamiku sangat menyayangi
anak-anaknya, hanya egonya sebagai laki-laki membuatnya menjaga jarak dengan
anak-anak. Mungkin juga karena pengaruh masa kecilnya yang kurang dekat dengan
bapaknya. Bapak mertuaku juga tidak dekat dengan anak-anak karena bekerja di
lain kota. Saat sudah tinggal menetap dengan anak-istri, anak-anaknya sudah
besar. Sampai sekarang pun, bapak mertuaku tidak betah tinggal di rumah terus.
Selalu cari aktivitas di luar rumah, sehingga jarang berinteraksi dengan
anak-anaknya.
Aku
tidak mau suamiku seperti itu, lalu menurun kepada anak-anakku. Anak-anak
adalah milik ayah dan ibu, maka keduanya harus bertanggungjawab. Tanggungjawab
ayah bukan sekadar mencari nafkah. Aku katakan kepada suamiku, bahwa tugas
mendidik anak itu sebenarnya ada di ayah, bukankah di dalam Al Quran, Lukman
Hakim-lah yang mengajari agama kepada anaknya?
Aku
juga pernah membagi sebuah kata nasihat dari pakar parenting, yang isinya
tentang seorang anak yang menggugat ayahnya. Salah satu isinya, bagaimana si
anak mau memandikan jenazah ayahnya, kalau ayahnya saja tidak pernah
memandikannya sewaktu kecil? Eh, ternyata suamiku ingat itu. Ketika memandikan
anak-anak, suamiku bilang, “sekarang Ayah sudah mandiin kamu ya, besok kalau
Ayah mati, kamu harus mandiin Ayah…” Aku tertawa dalam hati mendengarnya.
Keakraban
ayah dan anak-anaknya itu, kadang-kadang membuatku iri. Apalagi Sidiq sekarang
sudah punya jawaban berbeda kalau ditanya siapa yang dipilih, Ayah atau Mama?
Kalau mamanya baru marah-marah, Sidiq pasti akan menjawab, Ayah. Ayahnya juga
suka usil. Seperti siang itu, suamiku mengajak anak-anakku menggambar.
“Lihat
ini, Ayah gambar Mamah yang lagi marah…. Rambutnya berdiri… matanya melotot….”
Anak-anak
sukacita mengerumuni ayahnya yang sedang menggambar, sambil berceloteh
macam-macam.
“Serem
yah, Mamah….”
Lalu,
mereka tertawa-tawa sambil berkali-kali melirik ke arah mamanya. Hmmmm…..
Namun,
Ayah Teddy Bear itu, pernah juga berbuat salah, tak bisa mengontrol emosi
ketika Sidiq menendang perutku yang sedang hamil dengan keras. Saat itu, Sidiq
sedang lompat-lompat di tempat tidur, dan bug! Terasa perih perutku, khawatir
keguguran. Suamiku refleks mencubit paha Sidiq dengan keras, hingga Sidiq
menangis meraung-raung. Aku langsung memeluk Sidiq, susah payah mendiamkannya.
Suamiku tak berkata apa-apa, antara marah dan menyesal. Aku tahu itu tak
disengaja. Suamiku khawatir tendangan Sidiq membuatku keguguran sehingga ia
refleks mencubit Sidiq. Beberapa hari setelah kejadian itu, Sidiq masih takut
kepada ayahnya. Bila aku yang marah, anak-anak cepat lumer. Tapi, bila ayahnya
yang marah, mereka terus dilanda ketakutan.
Suamiku
seakan berusaha memperbaiki kesalahannya. Dia semakin berhati-hati mengontrol
emosinya, meski aku masih kerap takut. Bila dia yang mencubit, efeknya terasa
sekali pada anak-anak, karena cubitannya mantap. Tangan suamiku kan keras. Hingga
siang itu, aku sempat dibuat was-was. Salahku juga yang mengadukan perbuatan
Sidiq kepada Ismail, hingga ayahnya mengirimkan sms ancaman.
Siang
itu, Ismail mengeluh perutnya sakit, katanya ditendang Sidiq. Aku bingung,
bagaimana mengobati penyakit dalam? Kusms ayahnya, menceritakan hal itu. Jawab
suamiku,
“Sidiq
harus diberi pelajaran. Kalau empedunya pecah, gimana?”
Waduh!
Apa yang akan diperbuat oleh suamiku nanti sepulangnya dari kantor? Bagaimana
kalau dia menghukum Sidiq sampai anak itu meraung-raung? Apalagi sakit perut
Ismail tak hilang-hilang, hingga aku bingung antara memikirkan sakit Ismail dan
hukuman untuk Sidiq. Ismail sempat tidur siang, tapi kemudian menangis sambil
tidur, mengeluh perutnya sakit. Aku jadi semakin khawatir jangan-jangan benar
empedunya pecah.
Syukurlah,
setelah kuajak ke kamar mandi untuk buang air kecil, Ismail tak mengeluh sakit
perut lagi. Aku jadi bertanya-tanya, sebenarnya sakit apa Ismail? Apa itu cuma
pura-pura?
Malam
harinya, saat suamiku pulang, Sidiq sudah tertidur pulas. Otomatis, suamiku tak
melakukan apa-apa terhadapnya. Ismail juga sudah tak mengeluh sakit. Hanya aku
masih khawatir bagaimana nanti kalau Sidiq sudah bangun? Apa yang akan
dilakukan suamiku kepadanya?
Subuh
menjelang. Aku sedang salat Tahajud di kamar lain, ketika Sidiq ikut bangun di
kamar tidur utama. Mengulet di ranjang. Suamiku yang sudah lebih dulu salat,
menghampiri Sidiq. Waah… pikiranku tak enak. Mau apa ya suamiku? Sejak terakhir
dia mencubit Sidiq dengan keras, aku sudah memperingatkannya agar tak lagi
mengerasi Sidiq. Tak berapa lama kemudian, kudengar suara canda dan tawa dari
kamar . Sidiq dan ayahnya sedang bercanda di atas tempat tidur. Sama sekali tak
ada kemarahan di sana. Tak seperti ancaman suamiku di sms-nya. Aku menghela
napas lega. Alhamdulillah…. Dia masih menjadi Ayah Teddy Bear untuk
anak-anakku, dan terutama… Sidiq.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^