Saturday 30 March 2013

Baby Teddy Bear



Sidiq dan bayi Teddy-nya :D
“Ayah, liat nih…. Bayinya mau lahir….” Sidiq, 3 tahun, memperlihatkan perutnya yang diganjal dengan bak mainan berbentuk bulat. Di dalamnya ada boneka teddy berwarna merah jambu, pemberian tantenya. Saat ayahnya melihat ke arahnya, boneka teddy itu dikeluarkan dari bak mainan, lalu Sidiq menirukan suara bayi.

Ayahnya tertawa. Aku juga, meskipun sudah pernah melihat adegan itu sebelumnya. Sidiq memang sedang suka bermain bayi-bayian, sejak dia tahu mamanya, alias aku, hamil lagi anak ketiga. Aku sudah sering membicarakan soal kehamilanku itu kepada anak-anakku. Aku bilang kalau di perutku sedang ada dede bayi yang akan lahir sebentar lagi.
Soal proses kelahiran bayi yang diperagakan oleh Sidiq, mulanya aku bingung, dari mana Sidiq tahu? Ternyata, Sidiq dan Ismail, kakaknya yang baru berumur 4 tahun, pernah melihat-lihat buku panduan kehamilan milikku. Di dalamnya banyak gambar ibu melahirkan. Gambarnya sebenarnya porno, meskipun bukan gambar manusia asli, tapi bagi anak-anakku, itu tidak porno. Justru membuat mereka tahu bagaimana proses kelahiran bayi.
Setelah itu, Sidiq menyuruhku menyusui boneka teddynya. Hadeuuh… pintar sekali anakku itu. Boneka teddy itu mulanya membuat kesal suamiku, karena diberikan oleh adikku kepada anak-anakku yang notabene anak laki-laki semua. Masa anak laki-laki dikasih boneka? Tapi karena sudah terlanjur, ya sudahlah. Mulanya boneka itu tak terpakai, karena anak-anak lebih suka bermain mobil-mobilan. Sejak aku hamil itulah, si teddy jadi bayi-bayian.
Kadang-kadang, Sidiq memang menggemaskan dan menakjubkan. Perilakunya sukar diduga. Lebih sering sih membuat aku marah.  Herannya, kalau sedang kumarahi, dia malah menangis dan memelukku, seakan-akan takut ditinggalkan olehku. Segala teori parenting sudah kulahap mengenai cara menangani anak ajaib. Prakteknya, susah bukan main. Menjadi ibu yang full mengasuh anak-anak selama 24 jam, benar-benar harus sabar dan tahan banting.
Tingkah polah anak-anakku, terutama Sidiq, ada saja yang membuatku kesal. Setiap hari selalu saja mengujiku. Padahal, tugasku hanya mengasuh anak-anak, tetapi capainya bukan main. Capai tegang urat leher dan mata karena melotot dan marah.  Rumah sudah bersih dan rapi, eh tak lama semua barang diturunkan lagi ke lantai. Mukenaku, sarung dan sajadah untuk salat, handuk bersih, seprai tempat tidur, dan sebagainya, semua dihamparkan di lantai, ladalah…. Sidiq pipis di atas mukena dan peralatan salat suamiku. Grrrrgh……
Pernah, Sidiq mencuci karpet di ruang tamu dengan air seember.  Tindakannya itu sebenarnya bagus, dia ingin mencuci karpet yang diberaki kelelawar.  Masalahnya, dia mencuci di ruang tamu dengan air seember. Pernah juga saat hujan lebat dan petir menggelegar, Sidiq mengajak Ismail bermain hujan-hujanan. Pagar rumah dibuka lebar, lalu berhamburanlah mereka ke luar menyambut hujan. Barangkali tak masalah bila tak ada petir. Masalahnya adalah petirnya garang sekali, sedangkan depan rumahku itu halaman luas. Khawatir anak-anakku tersambar petir. Saat itu aku sedang ngidam hamil muda, terkapar di ranjang. Kupaksakan bangun demi memasukkan anak-anakku ke dalam rumah. Pagar sudah kukunci, tapi anak-anakku sudah bisa membuka kuncinya.
Dibandingkan Ismail, Sidiq memang lebih banyak memiliki ide-ide ajaib, kalau tidak mau disebut mengesalkan. Sedangkan Ismail lebih suka menggambar, menonton film kartun,  dan melihat-lihat buku cerita, karena dia belum bisa membaca. Sidiq memang tidak bisa diam, ada saja yang dikerjakannya, dan lebih sering bikin mata mamanya melotot.
Semua kekesalanku itu kubagi dengan suamiku melalui sms. Aku memang sering mengirim sms ke suamiku di kantor, kalau sedang pusing-pusingnya menangani anak-anak. Awalnya, suamiku cuek saja. Katanya sih, dia tak tahu mau menjawab apa. Suamiku memang kurang komunikatif, meskipun bekerja sebagai karyawan di perusahaan telekomunikasi. Aneh, memang. Padahal kuliahnya dulu juga di jurusan Marketing, tapi kok ya irit bicara, baik lisan dan tulisan. Kalau aku sudah marah-marah via sms, baru dia menjawab. Jawabannya standar saja,
“Ya, sabar, dong….”
“Mau bagaimana lagi?”
“Aku gak tahu harus bagaimana…..”
Dalam urusan menahan marah, suamiku memang lebih jago.  Suaranya ditakdirkan lembut dan pelan, meski jenis kelaminnya laki-laki. Kalau menelepon, aku sering menyuruhnya bersuara lebih keras lagi karena tak terdengar.  Dalam urusan menangani anak-anak pun, dia lebih sabar. Hmm… bisa jadi karena dia tak perlu seharian berada di rumah.  Dia tak tahu bagaimana rasanya menangani anak-anak seharian. Tapi, kalau hari libur, aku serahkan anak-anak kepadanya. Mau senakal apa pun anak-anak, dia tangani dengan kalem. Lebih seringnya sih cuek. Kalau aku, mana bisa cuek?
Memandikan anak-anak, dilakukan dengan happy. Malah memberikan fasilitas yang membuat anak-anak jadi lama mandinya.  Setelah diceburkan ke kolam renang plastic, suamiku sibuk menambal ban renang yang bocor. Semua supaya anak-anak senang.  Usai memandikan, lalu menyuapi makan. Itupun dilakukan dengan telaten dan sabar, makanan harus habis. Sedangkan aku lebih sering tak sabar. Kalau anak-anak tak mau makan lagi, ya sudah. Kubiarkan saja menyisa. Suamiku akan menunggu dengan sabar sampai anak-anak mau makan lagi.
Saat aku sedang tak mau diganggu dengan anak-anak, suamiku akan mengajak anak-anak pergi dengan motor atau mobil. Itu waktu aku ngidam hamil muda, rasanya pusing sekali mendengar anak-anak ribut dan berloncatan di kasur tempatku berbaring. Pernah, suamiku pergi ke Depok bertiga saja dengan anak-anak. Kupikir mereka hanya pergi sebentar, tahunya lamaaa….  Eh, tak disangka, suamiku bisa menangani anak-anak tanpa bantuanku. Padahal aku khawatir anak-anak mengompol di jalan. Mereka tidak memakai diapers, tapi suamiku  tahu bagaimana mengatasinya. Setiap beberapa menit, dia akan bertanya apakah anak-anak mau pipis? Kalau mau pipis, dia akan berhenti di pom bensin atau masjid terdekat. Wah, ternyata suamiku bisa juga mengasuh anak.  
Tentu saja, awalnya suamiku tidak begitu. Saat taaruf, terang-terangan dia bilang kalau dia tidak suka anak kecil. Dia tidak tahu bagaimana bergaul dengan anak kecil. Lalu, saat Ismail lahir, menggendong pun tak mau dengan alasan takut kenapa-kenapa. Setelah Ismail berusia tiga bulan, suamiku tetap susah diminta menggendong dan mengajak main anaknya sendiri. Ketika kami belum memakai jasa pembantu, suamiku memilih membantu pekerjaan rumah tangga daripada memegang Ismail. Setelah Sidiq lahir pun, suami lebih suka menyediakan pembantu rumah tangga daripada membantuku mengurus anak.
Perlu proses dan komunikasi yang panjang untuk bisa membuat suamiku menyayangi anak-anaknya sendiri. Dalam perbincangan-perbincangan kami, sering kuselipkan kritikan kepadanya yang kurang dekat dengan anak-anak. Sudah berangkat pagi, pulang malam, sampai di rumah malah sibuk menonton teve atau menekuri layar blackberrynya. Aku sering menyindirnya dengan menanyakan kepada anak-anak, siapa yang mereka pilih; Ayah atau Mamah? Sudah tentu anak-anak menjawab kompak bahwa mereka memilih mamanya. Suamiku langsung cemberut, tidak senang.
Suamiku akan protes kalau aku galak kepada anak-anak, tapi aku berdalih, biarpun galak, anak-anak tetap memilihku daripada ayahnya. Ya iyalah… ayahnya tidak mau dekat dengan anak-anak. Mungkin karena kata-kataku itu, perlahan suamiku berubah. Dia memang tidak galak kepada anak, tapi juga tidak dekat. Kehamilan ketigaku ini semakin membuat suamiku dekat dengan anak-anak. Aku katakan kepadanya, dari sekarang dia harus dekat dengan Ismail dan Sidiq, karena nanti saat adiknya lahir, siapa lagi yang mengurus Ismail dan Sidiq kalau bukan ayahnya?
Alhamdulillah, bahkan menyeboki Ismail dan Sidiq pun, suami sudah mau kalau aku benar-benar berhalangan. Jauh dari dalam lubuk hatinya, aku tahu suamiku sangat menyayangi anak-anaknya, hanya egonya sebagai laki-laki membuatnya menjaga jarak dengan anak-anak. Mungkin juga karena pengaruh masa kecilnya yang kurang dekat dengan bapaknya. Bapak mertuaku juga tidak dekat dengan anak-anak karena bekerja di lain kota. Saat sudah tinggal menetap dengan anak-istri, anak-anaknya sudah besar. Sampai sekarang pun, bapak mertuaku tidak betah tinggal di rumah terus. Selalu cari aktivitas di luar rumah, sehingga jarang berinteraksi dengan anak-anaknya.
Aku tidak mau suamiku seperti itu, lalu menurun kepada anak-anakku. Anak-anak adalah milik ayah dan ibu, maka keduanya harus bertanggungjawab. Tanggungjawab ayah bukan sekadar mencari nafkah. Aku katakan kepada suamiku, bahwa tugas mendidik anak itu sebenarnya ada di ayah, bukankah di dalam Al Quran, Lukman Hakim-lah yang mengajari agama kepada anaknya?
Aku juga pernah membagi sebuah kata nasihat dari pakar parenting, yang isinya tentang seorang anak yang menggugat ayahnya. Salah satu isinya, bagaimana si anak mau memandikan jenazah ayahnya, kalau ayahnya saja tidak pernah memandikannya sewaktu kecil? Eh, ternyata suamiku ingat itu. Ketika memandikan anak-anak, suamiku bilang, “sekarang Ayah sudah mandiin kamu ya, besok kalau Ayah mati, kamu harus mandiin Ayah…” Aku tertawa dalam hati mendengarnya.
Keakraban ayah dan anak-anaknya itu, kadang-kadang membuatku iri. Apalagi Sidiq sekarang sudah punya jawaban berbeda kalau ditanya siapa yang dipilih, Ayah atau Mama? Kalau mamanya baru marah-marah, Sidiq pasti akan menjawab, Ayah. Ayahnya juga suka usil. Seperti siang itu, suamiku mengajak anak-anakku menggambar.
“Lihat ini, Ayah gambar Mamah yang lagi marah…. Rambutnya berdiri… matanya melotot….”
Anak-anak sukacita mengerumuni ayahnya yang sedang menggambar, sambil berceloteh macam-macam.
“Serem yah, Mamah….”
Lalu, mereka tertawa-tawa sambil berkali-kali melirik ke arah mamanya. Hmmmm…..
Namun, Ayah Teddy Bear itu, pernah juga berbuat salah, tak bisa mengontrol emosi ketika Sidiq menendang perutku yang sedang hamil dengan keras. Saat itu, Sidiq sedang lompat-lompat di tempat tidur, dan bug! Terasa perih perutku, khawatir keguguran. Suamiku refleks mencubit paha Sidiq dengan keras, hingga Sidiq menangis meraung-raung. Aku langsung memeluk Sidiq, susah payah mendiamkannya. Suamiku tak berkata apa-apa, antara marah dan menyesal. Aku tahu itu tak disengaja. Suamiku khawatir tendangan Sidiq membuatku keguguran sehingga ia refleks mencubit Sidiq. Beberapa hari setelah kejadian itu, Sidiq masih takut kepada ayahnya. Bila aku yang marah, anak-anak cepat lumer. Tapi, bila ayahnya yang marah, mereka terus dilanda ketakutan.
Suamiku seakan berusaha memperbaiki kesalahannya. Dia semakin berhati-hati mengontrol emosinya, meski aku masih kerap takut. Bila dia yang mencubit, efeknya terasa sekali pada anak-anak, karena cubitannya mantap. Tangan suamiku kan keras. Hingga siang itu, aku sempat dibuat was-was. Salahku juga yang mengadukan perbuatan Sidiq kepada Ismail, hingga ayahnya mengirimkan sms ancaman.
Siang itu, Ismail mengeluh perutnya sakit, katanya ditendang Sidiq. Aku bingung, bagaimana mengobati penyakit dalam? Kusms ayahnya, menceritakan hal itu. Jawab suamiku,
“Sidiq harus diberi pelajaran. Kalau empedunya pecah, gimana?”
Waduh! Apa yang akan diperbuat oleh suamiku nanti sepulangnya dari kantor? Bagaimana kalau dia menghukum Sidiq sampai anak itu meraung-raung? Apalagi sakit perut Ismail tak hilang-hilang, hingga aku bingung antara memikirkan sakit Ismail dan hukuman untuk Sidiq. Ismail sempat tidur siang, tapi kemudian menangis sambil tidur, mengeluh perutnya sakit. Aku jadi semakin khawatir jangan-jangan benar empedunya pecah.
Syukurlah, setelah kuajak ke kamar mandi untuk buang air kecil, Ismail tak mengeluh sakit perut lagi. Aku jadi bertanya-tanya, sebenarnya sakit apa Ismail? Apa itu cuma pura-pura?
Malam harinya, saat suamiku pulang, Sidiq sudah tertidur pulas. Otomatis, suamiku tak melakukan apa-apa terhadapnya. Ismail juga sudah tak mengeluh sakit. Hanya aku masih khawatir bagaimana nanti kalau Sidiq sudah bangun? Apa yang akan dilakukan suamiku kepadanya?
Subuh menjelang. Aku sedang salat Tahajud di kamar lain, ketika Sidiq ikut bangun di kamar tidur utama. Mengulet di ranjang. Suamiku yang sudah lebih dulu salat, menghampiri Sidiq. Waah… pikiranku tak enak. Mau apa ya suamiku? Sejak terakhir dia mencubit Sidiq dengan keras, aku sudah memperingatkannya agar tak lagi mengerasi Sidiq. Tak berapa lama kemudian, kudengar suara canda dan tawa dari kamar . Sidiq dan ayahnya sedang bercanda di atas tempat tidur. Sama sekali tak ada kemarahan di sana. Tak seperti ancaman suamiku di sms-nya. Aku menghela napas lega. Alhamdulillah…. Dia masih menjadi Ayah Teddy Bear untuk anak-anakku, dan terutama… Sidiq.


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^