Gambar dari sini |
Dear Diary,
Mataku nanar
menatap cairan infus yang menetes satu per satu ke dalam selang infus yang
mengalir ke tubuhku. Alat bantu pernapasan juga menempel di hidungku. Tanpa
alat itu, aku kepayahan untuk sekadar menarik udara luar masuk ke nasofaring. Bau
obat menguar di udara. Seluruh ruangan berwarna putih. Dalam keadaan tidak
sadar, seringkali aku berpikir mungkin aku sudah berada di dunia lain. Beberapa
orang suster dengan pakaian putih sesekali menengokku, menyajikan senyum manis
yang tak dapat kubalas.
Entah sudah
berapa lama aku berbaring di atas ranjang rumah sakit ini. Aku tak ubahnya
seperti zombie, makhluk aneh yang tidak mati tapi juga tidak hidup. Dulu, saat
aku masih sehat, aku pernah menonton film zombie bersama teman-teman segeng
sambil merokok dan minum-minum. Ah ya, aku sudah menikmati keduanya sejak
remaja. Mulanya aku diajak menikmati rokok, benda panjang yang mengeluarkan
asap saat diisap. Aku mengisapnya hanya agar tidak disebut “banci.” Ya, kalau
aku menolak merokok, maka aku tak ubahnya seperti wanita.
Aku melihat
zombie-zombie itu menyerang manusia yang masih sehat dan membuat manusia itu
menjadi zombie. Tidakkah itu sama seperti rokok yang kuisap? Rokok yang membuat
kecanduan dan orang lain pun ikut menelan racunnya? Tak kusangka, rokok yang
semula membuatku batuk-batuk, ternyata justru membuatku ketagihan dan tak bisa
lepas darinya sehari pun. Uang saku pun kuhabiskan untuk membeli rokok. Aku
bahkan tak perlu makan lagi kalau sudah merokok.
Aku tahu, aku
membaca peringatan yang ada di depan bungkus rokok. Rokok mengandung nikotin
yang tidak baik untuk kesehatan. Sayangnya, aku sering tak membaca peringatan
itu karena membeli rokok dengan cara mencicil. Aku membeli sebatang dua batang,
seperti membeli permen. Kalau habis, aku akan membeli lagi. Kupikir dengan cara
begitu, kantongku tidak bolong cepat-cepat. Ternyata aku salah. Dosis merokokku
terus meningkat, hingga tanpa sadar aku menghabiskan tiga bungkus rokok dalam
sehari.
Mulutku terus
menerus mengeluarkan asap, seperti kereta api lokomotif. Ibuku sudah tak
terhitung lagi mengeluarkan omelan dan larangan merokok, tapi kuabaikan. Dia
mengurangi uang sakuku agar tak dapat lagi membeli rokok, tapi aku
menyiasatinya dengan menghemat uang bensin. Biar saja aku jalan kaki ke
sekolah, asalkan mulutku tetap ngebul. Aku tidak tahu kekuatan apa yang membuat
rokok mampu menghipnotisku sehingga kesulitan melepaskan diri darinya. Merokok
itu nikmat sekali. Seakan-akan semua beban lenyap bersama embusan asap rokok.
Aku merokok di
mana saja, tak peduli orang-orang terganggu dengan asap rokokku. Aku terus
merokok sampai dewasa, sampai usiaku menua.
Sampai kemudian
penyakit itu datang. Mulanya aku kesulitan bernapas dan sering batuk. Batukku
tak kunjung sembuh, bahkan semakin parah. Aku sering batuk darah. Dokter
memvonisku terkena kanker paru. Kamu ingin tahu seperti apa rasanya? Ah, tidak,
jangan sampai kamu juga terkena karena rasanya sangat tidak enak. Ya, ya, aku
tahu, di luar sana ada banyak perokok yang sehat-sehat saja walaupun tidak
berhenti merokok. Tapi, yang seperti aku juga banyak, dan barangkali kamu
berikutnya jika masih berani merokok.
Setiap kali
bernapas, dadaku terasa nyeri. Aku merasa ada batu berton-ton yang menumpuk di
dadaku, membuatku sesak napas. Berat badanku turun drastis. Kulitku pun
mengeriput. Berkali-kali aku dirawat di rumah sakit, tapi kanker itu masih
terus menggerogotiku. Bila waktu dapat diputar kembali, aku ingin menolak tawaran
rokok dari teman-temanku. Bila waktu dapat terulang, aku ingin sungguh-sungguh menghentikan
kecanduan merokok. Dulu itu rasanya sulit sekali. Aku malah menertawakan
istriku yang berkali-kali menyuruhku berhenti merokok. Dia tidak tahu rasanya
kecanduan merokok.
Sayang, waktu
tak dapat terulang. Aku sudah berbaring di sini dengan vonis kanker paru
stadium 4. Hidup segan, mati tak mau. Orang bilang, perawakanku sudah seperti
zombie. Tubuh kurus dan mengeriput, mata kosong tak bersinar. Jika kau tak mau
menjadi sepertiku, kau harus menjauhi batang-batang tembakau berisi nikotin dan
tar itu.
jauh-jauh dari zombie, eh rokok ya mbak
ReplyDeleteserem ah kalo zombi beneran ada :D
Deletemelihat fenomena akibat merokok entah mengapa masih aja orang yang merokok ya mak.. dan knp pabrik rokoknya ga ditutup aja kalau emang berbahaya
ReplyDeletesulit untuk menutup pabrik rokok, mba. Yg penting kesadaran kita aja utk ga merokok.
DeleteSelamat juara satu .... padahal aku mupeng pingin ke bali. :(
ReplyDeleteSelamat juara satu .... padahal aku mupeng pingin ke bali. :(
ReplyDeleteSelamat juara satu .... padahal aku mupeng pingin ke bali. :(
ReplyDeleteSelamat ya jadi juara 1.. Ikut seneng .. walau aku kalah tapi melihat sang juaranya pantas (hebat), menjadi semangat untuk terus belajar.. salam kenal :)
ReplyDeleteselamat ya mbak .. alhamdulillah ikut seneng bisa jalan2 ke(m)bali
ReplyDeleteselamat ya mba ^_^
ReplyDeleteselamat mbaaak.. :D
ReplyDeleteSelamat ya mbak jadi juara 1 bisa jalan2 ke Bali, bisa ketemuan gak ya???
ReplyDeleteselamat mak,...kereenn memang :)
ReplyDeleteSelamat... sebuah tulisan yang tidak biasa.
ReplyDeleteSelamat Mak, brilian ide tulisannya :)
ReplyDelete