Indahnya Menikah |
"Wahai Pemuda, siapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena menikah itu lebih mudah menundukkan pandangan dan lebih membentengi faraj (kemaluan). Dan siapa yang tidak mampu, maka berpuasalah karena puasa itu dapat membentengi dirinya." (HR. Muslim, Bukhari, Ahmad).
Tanggal 8 April 2006, terjadilah
perkenalan yang sudah diniatkan dalam rangka mencari jodoh. Tiga hari kemudian,
keduanya saling mengiyakan. Tanggal 3 Mei 2006, proses khitbah (lamaran) pun
diadakan di rumah calon mempelai perempuan. Meskipun belum deal, rencana pernikahan sedianya akan digelar bulan Agustus 2006.
Namun, apa daya, di bulan itu, ibunda sang calon mempelai perempuan meninggal
dunia. Belum cukup ujiannya, calon mempelai pria pun mengalami kecelakaan
motor, kaki patah, dan dirawat di rumah sakit.
Pernikahan diundur menjadi bulan November
2006, setelah hari raya Idul Fitri. Di bulan Oktober 2006, calon mempelai pria
mengirim sms, mengabarkan sebuah berita yang akan membuat semua calon mempelai
perempuan berpikir ulang mengenai rencana pernikahan.
“Aku akan di-PHK. Apa kamu yakin mau
menikah denganku?”
Calon mempelai perempuan sempat berpikir
sejenak. Menjelang pernikahan, calon suaminya akan di-PHK. Apakah ia sanggup
memiliki suami pengangguran? Memang, calon suaminya bisa mencari pekerjaan lain,
tapi bagaimana bila pekerjaan itu tidak langsung didapat? Bismillah…. Calon
mempelai perempuan mengembalikan niat awalnya untuk menikah. Lillahi ta’ala.
Proses pernikahannya telah melalui jalan yang insya Allah diridoi Allah.
Perkenalan yang singkat dan tanpa proses pacaran. Sejak awal, ia ingin menikah
karena Allah. Menikah untuk ibadah. Ia tak menetapkan syarat yang muluk-muluk
terhadap calon suaminya kelak. Baginya, pernikahan adalah salah satu jalan
untuk masuk ke surga.
“Tidak apa-apa,” jawabnya. Singkat tapi
dipenuhi keyakinan. Bukankah Allah akan memampukan hamba-Nya yang menikah
karena-Nya? Allah menjamin rejeki semua orang yang menikah dengan niat
beribadah dan menyucikan diri. Menikahlah, maka engkau akan kaya. Begitu janji
Allah. Mengapa ia tak percaya pada janji Allah?
Bulan November 2006, pernikahan digelar.
Selama tiga bulan, mereka tinggal di rumah orangtua perempuan. Suaminya belum
di-PHK tapi pasti akan di-PHK. Tinggal menunggu waktu. Lalu, dengan
memberanikan diri, sang istri mengundurkan diri dari pekerjaan. Memutuskan
untuk menjadi ibu rumah tangga penuh, demi membaktikan diri kepada suami dan
anak-anaknya kelak. Sang istri mengisi waktu dengan menulis, sebuah hobi yang
belakangan menjadi profesi karena memberikan penghasilan lumayan. Bulan
Februari, mereka memutuskan untuk pindah ke rumah sendiri. Rumah yang telah
dibeli sang suami dari sebelum menikah. Rumah sangat sederhana, tipe 22, tidak
ada dapur, atap bocor, hanya ada satu kamar, dan tidak ada perabotan apa pun.
Kompor, piring, kursi, gelas, wajan, bahkan lemari pakaian, disumbangkan oleh
orangtua keduanya. Bukan barang baru, melainkan barang bekas yang masih layak
pakai.
Masya Allah, di hari pertama mereka pindah
rumah, sang suami membawa surat PHK dari kantornya. Lalu, besok bagaimana?
Suaminya menganggur? Sedangkan ia pun sudah resign
dari pekerjaan kantoran. Pada saat itulah, janji Allah benar-benar
terbukti. Di hari yang sama dengan hari PHK, sang suami mendapatkan telepon
pemanggilan kerja dari kantornya yang baru. Suaminya diterima bekerja di tempat
lain, yang kelak memberikan penghasilan dan jabatan yang lebih dari cukup. Baru
kemarin diPHK, esoknya sang suami berangkat kerja ke kantor yang baru. Suaminya
tak pernah menjadi pengangguran, satu hari pun.
Kini, rumah tangga mereka sudah menginjak
tahun kedelapan. Alhamdulillah, janji Allah benar-benar terbukti, bagi siapa
pun yang menikah karena-Nya. Rejeki terasa lebih dari cukup. Rumah yang dulunya
tipe 22, kini telah dibangun menjadi tipe 72, rumah dua lantai dengan empat
kamar tidur, dua kamar mandi, dapur yang mungil tapi nyaman, ruang tamu, ruang
tengah, dan ruang kumpul keluarga. Di garasi pun sudah terisi kendaraan. Sang
suami juga memiliki investasi lain yang tak perlu disebutkan karena khawatir
jadi takabur.
Genggaman tangan suami istri, meleburkan dosa-dosa |
Apa yang saya ceritakan di atas bukan
bermaksud takabur atau menyombongkan diri. Saya ingin memotivasi pembaca blog
ini, bahwa Allah Swt benar-benar akan memampukan semua orang yang menikah
karena ingin beribadah kepada-Nya. Usia delapan tahun pernikahan kami jalani
dengan suka dan duka. Saya pun tak mengira, Allah Swt memberikan rejeki yang tak putus-putus. Bila
saja dulu saya membatalkan rencana pernikahan hanya gara-gara calon suami akan
diPHK, barangkali saya tidak menemukan suami yang lebih baik daripada suami
saya sekarang. Saya masih ingat, ketika dua orang teman (saat masih di kantor)
mengunjungi rumah saya yang kecil dan belum jadi. Salah seorang dari mereka
berkata,
“Duh, kalau aku menikah nanti, aku mau
cari suami yang kaya ah. Aku nggak mau tinggal di rumah kecil dan terpencil
seperti ini,” katanya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh rumah saya. Saya
hanya tersenyum menanggapinya. Semua pernikahan dibangun dari nol. Jika suami
dan istri saling bekerjasama dengan baik, insya Allah pernikahan akan membawa
pada kesejahteraan. Sebagai istri, saya tidak mau boros. Saya membantu suami
menabungkan uangnya, serta mengingatkan agar membayar zakat setiap bulan supaya
rejeki kami berkah. Walaupun ada keinginan membeli barang ini-itu, saya tahan
demi masa depan kami. Meskipun tidak bekerja di luar rumah, saya membantu
mencari nafkah dari dalam rumah dengan menulis.
Saya, ibu mertua, dan adik-adik ipar |
Bagi saya, menikah telah memberikan banyak
hal:
- Suami, yang melindungi, baik, taat, dan bertanggungjawab. Seseorang yang membuat saya tenang, karena tak perlu merasakan kecemasan sebagaimana yang dialami para lajang.
- Anak-anak yang sehat dan cerdas, tiga orang anak laki-laki yang terlahir dari rahim saya dalam waktu berdekatan. Kadang-kadang memang merepotkan, tetapi kehadiran mereka membuat saya mempelajari banyak hal.
- Keluarga yang sangat besar, karena menikah menyatukan dua keluarga besar: keluarga besar suami dan keluarga besar saya.
- Pahala yang berlimpah ruah, yang datang dari suami dan anak-anak. Pernikahan adalah salah satu bentuk ibadah, maka segala aktivitas di dalamnya pun bernilai ibadah. Dan tentu saja akan mendapatkan pahala. Dalam genggaman tangan suami-istri, terdapat pahala berlimpah dan penghapusan dosa-dosa. Apalagi dalam aktivitas-aktivitas lain yang melelahkan. Lelah yang indah. Lelah yang berbuah pahala.
- Rejeki yang cukup bahkan lebih, yang barangkali tidak akan saya dapatkan jika saya tidak menikah. Sebelum menikah, penghasilan saya hanya habis untuk hal remeh temeh. Setelah menikah, saya tahu bahwa saya harus berhati-hati menggunakan uang karena akan lebih berarti bila digunakan untuk masa depan. Contohnya saja dalam lomba-lomba menulis. Banyak lomba menulis yang diperuntukkan untuk orang yang sudah menikah atau ibu yang memiliki anak. Itu adalah berkah dari menikah. Kalau belum menikah dan punya anak, mana mungkin bisa mengikuti lomba-lomba tersebut?
Apakah menikah harus menunggu mapan?
Tidak. Saya sudah membuktikan bahwa berjuang bersama dengan pasangan itu lebih
indah dan mengasyikkan. Tentunya satu sama lain memiliki komitmen untuk saling membahagiakan, sehingga
tercapailah pernikahan yang sakinah, mawaddah, warrahmah, dan barokah. Maka, menikahlah dahulu jika engkau ingin kaya.
Nice story mak...
ReplyDeleteSukses GA nya.
Salam.
Ceritanya apik mbak,,,suka
ReplyDeleteBaca tulisan Mak Hana, jadi kangen sama suamiku :) semoga langgeng ya, mak
ReplyDeletebener sekali, nggak perlu nunggu mapan untuk menikah..karena nantinya..insyaallah kita akan kaya sendiri atas izin Allah...
ReplyDeletecerita pengalaman sendiri yg menarik mak....
ReplyDeleteNangis Mak ~
ReplyDeleteTantangan banget nikahin anak pas pekerjaan belum mapan, tapi keren sekali Mak dan keluarga mempercayai hikmah menikah termasuk di dalamnya melipatgandakan rizki,
Barokallohulakum Mak dan keluarga :)
Terima kasih sudah mampir ikutan GA ~
betl mbak, sejak menikah malah rezeki selalu datang ya
ReplyDeleteSemoga senantiasa SaMaRa ya Ela...
ReplyDeleteAku dulu nikah juga mulai dari 0 Mba Ela, piring sendok cuma punya 2 pasang, kursi karpet gak punya, pakainya kardus buat alas duduk. rumah tentu saja masih ngontrak.. hehehe
ReplyDeletePengalaman yang menarik, bisa di jadikan contoh nih buat generasi muda seperti saya ini.
ReplyDeleteSaia percaya banget mbak,ketika niat menikah maka pintu rejeki terbuka satu per satu :)
ReplyDeleteSubhanallah tulisnya bagus... jadi teriispirasi untuk segera menikah :)
ReplyDeletesaya jadi makin mantap segra menikah nie, terima kasih inspirasi dan motivasinya ini sangat mebantu pemantapan hati saya sekali. saya umur 20 tahun kurang dua bulan ini menikah dengan kondisi calon suami saya yg masih belum mendapatkan pekerjaan. minta doanya yaa..
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteterharu mbak q ��
ReplyDeleteMbk klo ada yg seperti mbk saya mau dong satu. Realita yg ada skrg didunia ini sngat terbalik. Atau memang sy tdk pernah menemukan nya atau belum menemukannya
ReplyDeleteMasyaAllah semoga saya bisa kuat menghadapi ujian sebelum menikah ini, karena pandemi calon suami saya di phk.
ReplyDelete