Monday 23 October 2023

Andai Aku Tak Menulis, Mungkin Aku Depresi

Entah apa jadinya kalau saya tak mengenal blog. Dulu sewaktu belum aktif di media sosial, saya tak memiliki teman bicara. Saya dan suami menikah melalui proses taaruf, sehingga kami masih canggung saat awal menikah. Suami saya sangat pendiam. Komunikasi pun kurang berjalan dengan baik. Sudah begitu dia juga sibuk kerja dan pulang malam terus antara jam 9-10 malam. Sampai di rumah, sudah capek dan tidur. 

Menulis untuk Menjaga Kesehatan Mental

 

Saya pernah merasakan momen kesepian dan menangis di awal pernikahan. Saat itu sudah hamil anak pertama pula. Jauh dari orangtua, nggak punya tetangga, dan belum bergaul di media sosial. Padahal setiap orang kan butuh berinteraksi dengan orang lain. Rasa stres bertambah setelah anak  pertama lahir. Belum genap satu tahun usianya, saya sudah melahirkan lagi anak kedua. 

Bayangkan mengasuh dua anak tanpa ada teman bicara dan orang yang membantu. Saya sudah kehilangan ibu sebelum menikah. Jadi harus belajar menjadi ibu sendirian. Ibu mertua juga jauh di kampung. Benar-benar nggak ada yang bisa dimintai bantuan. Suami saya pun memberikan asisten rumah tangga, karena melihat saya kerepotan. Dia juga takut saya stres. 

Namun, itu nggak cukup. Suami saya sepertinya peka dalam hal ini. Dia khawatir saya depresi. Dia pun menyuruh saya menulis lagi, membelikan modem internet, dan membuatkan blog dan facebook seperti yang saya ceritakan di artikel Orang-orang di Belakang Laptop.

Menjaga Kesehatan Mental dengan Menulis 

Percayalah, menulis itu memang benar-benar bisa menjaga kesehatan mental. Setelah membuka akun media sosial, saya bergabung dengan komunitas ibu-ibu dan mendapatkan banyak teman. Saya bisa curhat sepuasnya dengan menulis. Begitu juga setelah saya membuka blog. Saya isi blog itu dengan curhatan-curhatan ala ibu rumah tangga.

Rasanya plong sekali setelah mengeluarkan ribuan kata. Saya tak lagi merasa kesepian, meskipun punya suami yang pendiam. Dulu saya merasa suami saya itu membosankan, karena sangat pendiam. Sekarang itu sudah nggak jadi masalah. Biarlah suami saya pendiam, saya tetap  bisa berbicara panjang lebar melalui tulisan. 

Apalagi setelah tulisan saya juga bisa menghasilkan materi. Kebahagiaannya berlipat ganda. Depresi juga bisa disebabkan oleh masalah ekonomi. Meskipun gaji suami saya sudah tinggi, tetap saja ya kebutuhan lebih  banyak daripada penghasilan. Suami saya harus membayar cicilan rumah, motor, dan keperluan rumah tangga. 

Saya ingin bisa bersenang-senang, misalnya dengan bebas membeli jajanan untuk anak-anak, mainan anak-anak, dan makan enak di luar. Kalau mengandalkan gaji suami waktu itu, belum tercukupi. Alhamdulillah beberapa tulisan saya bisa memenangkan lombablog sehingga materi pun berdatangan satu per satu. 

Saya bisa ganti ponsel yang lebih bagus, punya mesin cuci yang canggih, mendapatkan voucher MAP untuk makan di Burger King, bahkan bisa membeli motor dengan patungan bersama suami. Sampai sekarang saya masih merasakan materi dari menulis walaupun nggak sebanyak dulu. Gaji suami juga sudah mencukupi. Kalau saya berhenti menulis pun sudah nggak masalah, tapi saya sudah kadung cinta dengan dunia tulisan ini. 

Saya pernah mencoba berhenti menulis, ternyata saya merasa stres lagi. Nggak ada sarana untuk meluapkan perasaan. Saya sudah sampai di tahap harus menulis meskipun nggak mendapatkan materi apa pun. Istirahat menulis paling hanya 3 hari, setelah itu ya nulis lagi. 

Aturan Curhat di Blog 

Bagi saya sendiri, nggak semua hal bisa saya curhatin di blog. Menulis di blog itu memang bisa menjadi ajang curhat, tapi tetap harus ada aturannya sebagai berikut: 

Merahasiakan Aib Keluarga 

Suami saya sudah berpesan sejak awal supaya saya jangan menceritakan rahasia keluarga, apalagi aib di media sosial. Berkali-kali saya menghapus tulisan yang akan dipublish, bila saya pikir itu menceritakan aib keluarga. Seberat apa pun masalahnya, lebih baik disampaikan langsung ke orangnya. Misalnya, saat bertengkar dengan suami. Saya menulis surat panjang lebar dan dikirimkan ke email suami daripada dituliskan di blog. 

Begitu juga kalau ada masalah dengan mertua, ipar, dan sebagainya. Sebisa mungkin ditahan untuk tidak menceritakannya di blog. Saya juga menahan diri untuk membongkar aib sendiri. Beberapa orang ada yang tidak segan menceritakan aibnya sendiri yang sudah disimpan oleh Allah. Misalnya, aib bahwa dia pernah berzina. Kalau nggak diceritakan, orang lain nggak akan tahu (kecuali orang yang pernah berhubungan dekat). Lalu, mengapa harus diceritakan di blog?

Memilih Foto yang akan Dipublish 

Foto sendiri dan keluarga,  termasuk foto anak-anak harus dipilih jangan sampai foto itu nantinya digunakan oleh sembarang orang. Pada awal menulis dulu, saya masih belum paham soal ini. Saya pernah memposting foto anak saya ketika sedang diinfus di rumah sakit. Sebenarnya saya sedang menceritakan pengalaman anak yang sakit. Eh ternyata ada orang yang memanfaatkan foto tersebut untuk mencari sumbangan. Astaghfirullah.... 

Sejak itulah saya selektif untuk memposting foto. Diusahakan jangan posting foto dalam keadaan jelek, baik itu foto kita maupun keluarga. Apalagi sekarang banyak orang usil membuat meme dari foto orang lain. Gimana rasanya kalau foto yang dibuat meme itu adalah foto kita atau anak-anak kita?  

Menjaga Nama Baik Orang Lain 

Kadang-kadang kita itu mau curhat dengan ngomongin orang lain yang menyebalkan. Contohnya, tetangga, teman, wali murid di sekolah anak, dan sebagainya. Bukan hanya nama kita dan keluarga sendiri yang harus dijaga, tapi juga orang lain. Sekesal apa pun kita kepada orang itu, jangan sampai membuka identitasnya di blog sampai-sampai pembaca mengetahui siapa dia. 

Sekarang kan ada UU ITE dan pencemaran nama baik, jadi berhati-hatilah jangan sampai curhatan kita itu menjerumuskan kita ke penjara. Memang nggak mudah ya memilih kata supaya kita nggak blak-blakan curhatnya sampai membuka identitas orang lain. Tapi insya Allah lama-lama kita bisa menyeleksi tulisan sendiri supaya nggak berakibat buruk kepada orang lain.

Tulisan saya juga berproses. Saya pun pernah mendapatkan pelajaran dari tulisan yang blak-blakan. Sehingga saya terus berusaha memperbaiki tulisan agar lebih halus meskipun mengandung curhat tersembunyi. Jangan sampai niat hati menulis untuk menghindari depresi, tapi kita malah jadi depresi setelah menulis.

Sampai hari ini saya meyakini bahwa menulis dapat menjaga kesehatan mental. Jadi, yuk mulai menulis bagi teman-teman yang belum pernah menulis. Nggak usah takut jelek. Jalani saja dulu. Mulailah mencurahkan isi hati di blog. Saran saya dengan tetap memperhatikan aturan-aturan di atas, karena nggak semua hal bisa kita bagikan ke dunia luar. Tetap harus ada saring sebelum sharing. 

Alhamdulillah, dengan rutin menulis, saya bisa melalui tahapan kehidupan yang berat ketika memiliki tiga anak kecil-kecil. Saya menulis sambil menyusui bayi, dengan begitu hormos stres pun berkurang. Saya bisa menjalani hidup dengan bahagia hingga kini. 

 


 


 


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^