Monday 28 April 2014

Sosok Perempuan Indonesia Masa Kini: Antara Tuntutan dan Eksistensi

R.A. Kartini

21 April selalu diperingati sebagai Hari Kartini, hari yang menandai kebangkitan perempuan Indonesia. Kartini dianggap sebagai pahlawan emansipasi perempuan Indonesia karena surat-suratnya yang menginspirasi. Perempuan Jawa pada zaman Kartini,  terbelenggu oleh adat dan tradisi. Di usia belasan, tradisi pingit telah diterapkan.  Sekolah tak selesai. Jodoh tak bisa digugat. Begitulah Kartini. Memendam cita agar perempuan mendapatkan pendidikan. Tak sekadar menjadi istri yang pandai di dapur, di sumur, dan di kasur.


Tak kurang dari 135 tahun telah berlalu, perempuan masa kini telah melampaui cita-cita Kartini. Pendidikan telah dikenyam sebagian besar perempuan, eksis di berbagai bidang, hingga sanggup berdiri sejajar bersama laki-laki. Ada banyak perempuan Indonesia yang berprestasi, mengangkat nama Indonesia hingga kancah internasional. Sebutlah Susi Susanti di bidang olah raga, Sri Mulyani  mantan Menteri Ekonomi, Megawati mantan Presiden RI, Martha Tilaar pengusaha kosmetika alami Indonesia, Najwa Shihab pembawa berita televisi, Karen Agustiawan Dirut Pertamina, Helvy Tiana Rosa sastrawati ternama, dan lain-lain. Semua berprestasi di bidangnya masing-masing.

Setiap tahun, menjelang tanggal 21 April, gaung emansipasi semakin kencang. Semua orang, dari usia balita sampai dewasa, merayakan hari kelahiran Kartini, yang juga dijadikan penanda emansipasi perempuan. Ajang-ajang pemilihan Kartini modern pun diadakan dengan tujuan menginspirasi perempuan lain agar bersemangat memajukan diri sendiri dan sekitarnya.

Helvy Tiana Rosa, sastrawati Indonesia yang telah mendunia
Kartini Membawa Misi Pendidikan
Perjuangan Kartini di masa sebelum kemerdekaan berbeda dengan perjuangan pahlawan lainnya yang mengangkat senjata dan berperang. Kartini berjuang melalui pendidikan. Beliau ingin bersekolah hingga tinggi, sebagaimana kakak-kakak lelakinya. Beliau bersekolah di ELS (Europese Lagere School), sekolah untuk anak-anak Eropa. Kartini beruntung bisa masuk ke sekolah itu, karena bapaknya seorang bangsawan dan juga Bupati Jepara. Kartini belajar Bahasa Belanda dan bergaul dengan teman-teman Eropa, sehingga bisa berbahasa Belanda. Sayangnya, di usia 12,5 tahun, Kartini harus berhenti sekolah dan menjalani tradisi pingitan, tradisi yang diterapkan kepada seluruh perempuan Jawa di masa itu.

Walaupun hanya sebentar mengenyam pendidikan, Kartini memiliki ide-ide yang fenomenal, tentang bagaimana mengangkat derajat kaum perempuan Indonesia, khususnya perempuan Jawa. Pemikirannya disampaikan melalui surat-surat yang dikirimkannya kepada teman-temannya di Eropa. Kartini ingin perempuan memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang sejajar dengan kaum laki-laki. Berikut adalah sebagian isi surat Kartini yang ditulis pada tahun 1901, tentang keinginannya agar seluruh perempuan mendapatkan pendidikan:

“Masyarakat kita pasti bahagia kalau wanita-wanitanya mendapat pendidikan yang baik. Di dunia wanita kita terdapat banyak derita yang pedih. Penderitaan yang telah saya saksikan waktu saya masih kanak-kanak itulah yang membangkitkan keinginan saya membawa arus yang tidak mau membenarkan saja keadaan-keadaan yang kolot.

Kami sekali-sekali tidak ingin membuat murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropah atau orang Jawa-Eropah. Dengan pendidikan bebas, kami bermaksud pertama-tama membuat orang Jawa menjadi orang Jawa sejati, yang menyala-nyala dengan cinta dan semangat terhadap nusa bangsanya, terbuka dengan mata dan hati terhadap keindahan serta kebutuhannya. Kami hendak memberikan kepada mereka segala yang baik dari kebudayaan Eropah, bukan untuk mendesak atau mengganti keindahan mereka sendiri, melainkan untuk menyempurnakannya.”

Kartini bercita-cita memberikan pendidikan untuk perempuan Indonesia, khususnya Jawa, karena ia melihat kaum perempuan di Jawa memiliki status sosial yang rendah dan kerap diperlakukan tidak adil di dalam masyarakat. Pendidikan akan mengangkat kaum perempuan dari ketertindasan dan kesewenang-sewenangan. Setelah menikah dengan Bupati Rembang, Kartini diberi kebebasan untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang. Kini telah berdiri pula Sekolah Kartini di Semarang yang didirikan oleh Yayasan Kartini.  

Cita-cita Kartini agar perempuan Indonesia mendapatkan pendidikan yang setara dengan kaum lelaki, kini telah tercapai. Walaupun masih banyak kaum perempuan yang belum mendapatkan pendidikan karena ketidakmampuan orang tua, kaum perempuan terdidik mudah kita jumpai di mana-mana di Indonesia. Tentu saja, kita masih memiliki PR besar, karena belum semua perempuan Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak. Di kampung-kampung, masih banyak didapati perempuan putus sekolah di usia muda karena harus bekerja menjadi pekerja rumah tangga atau buruh migran. Banyak juga yang putus sekolah karena menikah terlalu dini. Hal itu dikarenakan budaya yang sudah mengakar, bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena hanya akan tinggal di rumah, dan ketidakmampuan orang tua dalam membiayai pendidikan anak-anaknya.

Saya memiliki satu kisah nyata yang diceritakan oleh mantan asisten pembantu rumah tanggga di depan rumah saya. Dia baru lulus Sekolah Dasar ketika melamar pekerjaan sebagai Pembantu Rumah Tangga di komplek-komplek perumahan. Dia berasal dari kampung terpelosok di Banten. Orang tuanya memiliki tiga anak, dua perempuan dan satu lelaki. Dia adalah anak perempuan pertama, anak sulung. Seharusnya dia mendapatkan hak untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, tetapi orang tuanya mengutamakan adik lelakinya, dengan alasan dia hanya seorang anak perempuan. Orang tuanya hanya mampu menyekolahkan satu anak, dan yang dipilih adalah anak laki-laki karena anak laki-laki kelak akan bertanggung jawab kepada keluarganya, sedangkan anak perempuan akan dibawa oleh suaminya. Dengan kata lain, percuma memberikan pendidikan tinggi untuk anak perempuan karena tidak akan membawa manfaat apa-apa untuk orang tua.

Sungguh sangat ironis, di masa ketika pendidikan telah menjadi kebutuhan pokok, masih ada orang tua yang tidak mau berjuang untuk pendidikan anaknya dan memilih-milih gender. Anak-anak perempuan yang tidak beruntung itu dipaksa bekerja di usia muda sebagai pembantu rumah tangga atau bahkan menjadi buruh migran. Akibat kurangnya pendidikan, mereka tertimpa masalah di negeri orang sebagaimana yang dialami oleh Satinah, yang nyaris dihukum gantung karena terlibat tindakan kriminal di rumah majikannya. Kasus Satinah hanya satu dari ratusan kasus lain.

Kartini Itu Menulis
Apa yang membuat Kartini begitu dikenang dan namanya dikaitkan dengan kebangkitan emansipasi perempuan dibandingkan pahlawan perempuan lainnya di Indonesia? Kita mengenal nama Cut Nyak Dien, Malahayati, Dewi Sartika, Christina Martha Tiahahu, dan banyak pahlawan wanita lainnya yang namanya diabadikan di dalam sejarah, tetapi mengapa hanya Kartini yang diperingati hari kelahirannya setiap tahun? Tak lain dan tak bukan karena Kartini menulis. Kepahlawanan Kartini terabadikan di dalam surat-surat yang ditujukan untuk rekan-rekannya di Belanda, kemudian surat itu dibukukan oleh Mrs Abendanon, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Habis Gelap, Terbitlah Terang.” Kartini juga sering menulis artikel di Koran-koran dalam Bahasa Belanda. Dunia pun mengetahui ide-ide Kartini yang abadi hingga kini. Seorang penulis bisa mati, tetapi tulisannya akan tetap hidup sampai kapan pun.

Di masa kini, sebuah tulisan dapat tersebar secara luas melalui teknologi internet. Media sosial memberikan fasilitas untuk menuliskan ide-ide dan pemikiran kita. Facebook, Twitter, Blog, tak hanya hanya dijadikan tempat menjalin pertemanan, tetapi juga menyediakan tempat untuk menyumbangkan pemikiran. Tulislah hasil pikiran Anda di blog dan sebarkan kepada dunia. Dunia akan mengenal siapa Anda. Bahkan pikiran Anda, bisa menginspirasi orang lain.

Perempuan Indonesia Masa Kini Antara Tuntutan dan Eksistensi
Perempuan masa kini mengalami dilema antara tuntutan dan eksistensi, khususnya perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak. Mau tidak mau, seorang perempuan tetap harus melaksanakan kewajibannya sebagai ibu dan istri. Karir yang dijalani seorang perempuan acap kali membuatnya “terpaksa” mendelegasikan tugas kerumahtanggaan kepada pembantu rumah tangga atau keluarga dekat. Banyak perempuan pekerja yang bekerja di luar rumah, tetapi hatinya berada di dalam rumah. Pikirannya selalu tertuju ke rumah, memikirkan anak-anaknya yang diasuh oleh orang lain atau sedang sakit tapi sang Ibu tak dapat menjaganya.

Belakangan, banyak perempuan terdidik dengan pendidikan minimal strata satu yang memutuskan untuk tidak berkarir dan fokus pada pengasuhan anak. Mereka bukan berarti tidak mau berdiri sejajar dengan para pria dalam berbagai sektor pekerjaan, tapi mereka memilih untuk total mengasuh anak-anak, agar anak-anak mendapatkan pendidikan yang baik dari ibunya sendiri. Sesungguhnya, hal ini juga sejalan dengan cita-cita Kartini, yang ingin memberikan pendidikan kepada kaum Ibu.

“Siapakah yang akan menyangkal bahwa wanita memegang peranan penting dalam hal pendidikan moral kepada masyarakat? Dialah orang yang sangat tepat pada tempatnya. Ia dapat menyumbang banyak (atau boleh dikatakan terbanyak) untuk meninggikan taraf moral masyarakat. Alam sendirilah yang memberikan tugas itu padanya.

Sebagai seorang Ibu, wanita merupakan pengajar dan pendidik yang pertama. Dalam pangkuannyalah seorang anak pertama-tama belajar merasa, berpikir, dan berbicara, dan dalam hal pendidikan pertama ini mempunyai arti yang besar bagi seluruh hidup anak…..

Tangan ibulah yang dapat meletakkan dalam hati sanubari manusia unsur pertama kebaikan atau kejahatan, yang nantinya akan sangat berarti dan berpengaruh pada kehidupan selanjutnya. Tidak begitu saja dikatakan bahwa kebaikan ataupun kejahatan itu diminum bersama susu ibu. Dan bagaimanakah ibu Jawa dapat mendidik anak kalau ia sendiri tidak berpendidikan?

Hanya sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat. Lingkungan keluarga (orang tua) harus membantu juga. Malahan lebih-lebih keluargalah yang seharusnya datang kekuatan mendidik. Ingatlah! Keluarga (orang tua) dapat memberikan pengaruhnya siang-malam, sedang sekolah hanya beberapa jam saja….

Binalah mereka (putri-putri bangsawan) menjadi ibu-ibu yang pandai, cakap, dan sopan. Mereka akan giat menyebarkan kebudayaan di kalangan rakyat. Sadar akan panggilan moral dalam masyarakat mereka akan menjadi ibu-ibu yang penuh kasih sayang, pendidik yang baik dan berguna bagi masyarakat yang memerlukan bantuan dalam segala bidang.” (Berikanlah Pendidikan kepada Bangsa Jawa *baca: Indonesia. Nota R.A Kartini tahun 1903 yang dipublikasikan melalui berbagai surat kabar).

Jika seorang perempuan hanya di rumah, bagaimana dengan eksistensinya? Apakah ia hanya bisa mendidik anak-anaknya saja?

Pemberdayaan Wanita menjadi salah satu dari empat pilar PSF (Putra Sampoerna Foundation)
Ibu Rumah Tangga yang Menulis
Ibu rumah tangga, apa yang terbersit dalam benak Anda ketika mendengar kata itu? Perempuan yang hanya di rumah dan melakukan pekerjaan monoton seperti membersihkan rumah dan menjaga anak-anak? Masih saja ada anggapan miring bila seorang perempuan berpendidikan memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga saja, “Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau “cuma” di rumah?” Pekerjaan ibu rumah tangga hanya dipandang sebelah mata, karena tidak menunjukkan prestasi apa pun dan tidak menghasilkan rupiah. Orang tua merasa harus menyekolahkan anak tinggi-tinggi agar kelak anaknya mendapatkan pekerjaan yang mapan dan imbalan materi yang besar. Jika seorang anak perempuan yang sudah disekolahkan tinggi-tinggi, kemudian memutuskan untuk berkarir di rumah, orang tua akan kecewa bukan main karena merasa percuma telah menyekolahkan anaknya.

Stop berpikiran seperti itu karena eksistensi seorang perempuan juga bisa dibangun dari rumah. Ada banyak pilihan karir yang bisa dibangun dari rumah, salah satunya adalah menulis. Ya, menulis, seperti yang dilakukan oleh ibu kita Kartini. Beliau menulis dan menyumbangkan pemikirannya untuk kaum perempuan melalui surat-surat dan artikel-artikel  yang ditulisnya. Beliau juga mendirikan sekolah yang letaknya dekat dengan rumahnya. Tulisan adalah sebuah karya yang tidak dibatasi oleh tempat.

Saya adalah seorang perempuan berpendidikan Sarjana yang memilih untuk berkarir dari rumah dan menyumbangkan pemikiran saya melalui tulisan. Saya berterima kasih kepada orang tua atas usaha mereka menyekolahkan saya, meskipun dalam keterbatasan. Mereka memiliki empat anak perempuan dan yang tiga sudah berpendidikan Sarjana. Sebagai seorang abdi Negara dengan gaji kecil, itu adalah prestasi yang luar biasa bagi orang tua saya. Mereka tidak memandang jenis kelamin anak-anaknya. Walaupun kami berempat adalah anak perempuan, mereka tetap menyekolahkan kami sampai Sarjana.

Saya bersama ibu-ibu rumah tangga yang
belajar menulis di BAW Community

Berada di rumah, bukan berarti saya tidak bisa menyumbangkan pemikiran saya. Teknologi internet telah memudahkan saya untuk menulis di jejaring sosial. Blog ini adalah salah satunya. Saya juga mendirikan sekolah menulis melalui internet dengan nama BAW Indonesia (Be A Writer, BAW Community). Saya bersama beberapa teman bermaksud memberikan sedikit ilmu kami dalam tulis menulis kepada generasi muda maupun ibu-ibu rumah tangga yang ingin belajar menulis. Saya tidak perlu ke luar rumah untuk berbagi ilmu menulis, karena semua dilakukan melalui internet. Interaksi aktif dilakukan melalui grup BAW Community di facebook. Kami juga membuat blog, twitter, dan fanspage agar lebih banyak lagi ilmu menulis yang bisa dibagikan.


Twitter @BAWCommunity


Blog BAW 

Saya sendiri masih harus banyak belajar menulis. Saya tidak menganggap diri saya lebih baik dari teman-teman penulis lain. Yang membuat saya terharu adalah, sebagian besar anggota BAW Community adalah IBU RUMAH TANGGA. Mereka adalah perempuan terdidik yang memutuskan untuk berkarir dari rumah dengan menjadi penulis dan membagi pikiran mereka melalui tulisan. Seperti yang dilakukan oleh Kartini, 135 tahun yang lalu.  Dengan begitu, kami bisa mengatasi dilema antara tuntutan dan eksistensi. Kami masih bisa eksis melalui tulisan-tulisan yang tersebar di berbagai media. Tulisan-tulisan yang dipublikasikan itu tak jarang memberikan manfaat secara materi pula, yang berguna untuk diri sendiri, keluarga, maupun orang lain.

Tulisan ini disertakan dalam PSF Bloggers Award  

Sumber Penulisan:
http://sosok.kompasiana.com/2012/04/20/mengenal-dan-memahami-pemikiran-ibu-kita-kartini-melalui-tulisan-tulisannya-456880.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini 

13 comments:

  1. sukses mbaa lombanya, keren, aku mau ikutan tapi bingung mo nulis apa hahaha

    ReplyDelete
  2. kalo dulu sudah ada blog, mungkin Kartini juga akan ngeblog :)

    ReplyDelete
  3. sukses mak, menang nih tulisannnya mantap, mau donk gabung di BAW hehehehe :)

    ReplyDelete
  4. hebat dah mba Ela, nulis iya, ngeblo iya, banyak krucils iya..huwaaa gue sirik nih hihihihihihihihi

    ReplyDelete
  5. Nggak heran kalau tulisan ini keluar sebagai salah satu pemenangnya. Selamat mak Leyla. Saya belajar banyak dari tulisannya ini. Like ^_^

    ReplyDelete
  6. iya...layak menang...! Bagus tulisannnya..Selamat mba Leyla...!

    ReplyDelete
  7. selamat mbak leyla..bagus sekali tulisannya :)

    ReplyDelete
  8. baru sempat baca, tulisan yang menang ini. sungguh layak. menginspirasi. like it.

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^