Friday 29 October 2021

Kiat Memilih SMA yang Tepat

Tak terasa waktu berlalu, tahu-tahu dua anak saya sudah duduk di bangku SMP. Hanya kurang dari 1,5 tahun lagi, saya sudah punya anak yang duduk di bangku SMA. Huwaaa.... kok cepet banget ya? Saya sering flashback mengenang sewaktu mereka masih kecil-kecil dengan beda usia hanya setahun. Yang satu minum ASI, satunya lagi susu formula. Kadang ingin kembali ke masa lalu, tapi capek juga sih mengurus dua anak kecil-kecil. Ya sudah, dinikmati saja saat-saat mereka membesar dan sudah tak mau dipeluk mamanya ini. 
 
 
SMA Pintar Lazuardi

 
 
 
Nah, mumpung ada masih ada waktu 1,5 tahun lagi, saya sudah harus mencari SMA yang tepat nih. Nggak asal dapat sekolah dengan SPP yang murah. Saya berharap sekolah yang dimasuki anak saya nantinya tak hanya fokus pada pendidikan akademik tapi juga pendidikan karakter, kemandirian, dan kepemimpinan. Apalagi kedua anak saya ini laki-laki dan nantinya akan menjadi pemimpin. Saya ingin mereka memiliki kemampuan mengambil keputusan dan tidak ikut-ikutan.  
 
Untuk itulah, pada hari Sabtu, 23 Oktober 2021, saya kembali mengikuti webinar bersama SMA Pintar Lazuardi kali ini dengan tema "Kiat Memilih SMA yang Tepat." Pas sekali dengan kebutuhan saya sebagai orangtua yang akan memasukkan anaknya ke SMA. Narasumber pertama adalah Bapak Haidar Bagir yang menyebutkan kriteria memilih sekolah tak harus berpatokan pada rangking sekolah tersebut melainkan bagaimana sekolah mampu membimbing anak-anak memiliki kemampuan leadership, memenuhi kebutuhan hobi anak-anak, dan memiliki kurikulum disederhanakan sehingga tak membebani anak-anak, sebagaimana yang sudah diterapkan di SMA Pintar Lazuardi. 
 
 
SMA Lazuardi

 
Selain itu, pandemi covid-19 ini membuat kita menyadari pentingnya Blended Learning, atau pendidikan yang dilakukan secara daring dan luring. Sekolah tidak hanya dilaksanakan secara tatap muka tapi juga secara online. Fasilitas sekolah dan kemampuan tenaga pengajar sudah mendukung untuk pembelajaran online itu dikarenakan di masa depan itu kegiatan online akan memegang kendali. Biar nggak kaget dengan perubahan teknologi, dari sekarang sekolah itu sebaiknya sudah menerapkan Blended Learning. SMA Pintar Lazuardi, salah satunya.  

Narasumber kedua adalah Irfan Amalee, Cofounder Peace Generation yang memaparkan tentang pentingnya pendidikan karakter melalui disiplin positif.  The Marshmallow Test adalah tes untuk anak-anak di dalam kelas yang diberikan marshmallow dan dilarang memakannya. Ternyata sebagian besar anak gagal menahan diri untuk memakannya. Sepuluh tahun kemudian, anak-anak yang gagal itu ternyata memang gagal pula di masa depan untuk menahan diri. Jadi, bila seseorang mampu menunda kesenangan dan disiplin, maka dia bisa mencapai tujuannya. Ada 3 tipe nih, Quitters, Campers, dan Climbers.

Ada 7 prinsip disiplin positif yaitu:

  1. Menumbuhkan kesadaran internal
  2. Bukan karena hukuman, tapi konsekuensi logis
  3. Dukungan bukan hadiah
  4. Koneksi sebelum koreksi
  5. Memahami bukan menghakimi
  6. Mengendalikan diri  bukan mengendalikan anak
  7. Lembut sekaligus tegas 

Disiplin positif artinya mengajarkan anak-anak menguasai 5 binatang dalam dirinya, singa (melambangkan tubuh kita), rajawali (melambangkan pikiran), bunglon (melambangkan emosi), sapi (melambangkan aset), dan ayam jago (melambangkan waktu). 

Kemudian ada cerita si kembar identik yang berbeda kehidupannya dari orangtua alkoholik. Si A jadi alkoholik dan hidupnya hancur, si B jadi anti alkohol dan hidup sukses. Rupanya anak-anak yang dihadapkan pada situasi yang sama, dapat menghadapinya dengan mindset berbeda. Anak yang sukses itu memiliki Growth Mindset. 


 

Cerita ketiga adalah tentang rumah sakit mobil yang bisa mendatangi rumah kita, dikendalikan oleh mesin. Artinya, 80% pekerjaan di masa kini kemungkinan akan menghilang di masa depan dan digantikan dengan pekerjaan-pekerjaan baru yang belum bisa kita bayangkan saat ini. Sanggupkah anak-anak kita beradaptasi dengan pekerjaan-pekerjaan baru itu? Contohnya ya bekerja sebagai orang yang mengendalikan mesin untuk menggerakkan robot-robot itu. Kebayang deh anak-anak yang suka bermain game akan mudah melakukan pekerjaan itu hehehe....

Bapak Setiyo Iswoyo dari SMA Lazuardi yang memaparkan tentang perkembangan SMA Pintar Lazuardi dan mengenai peran orangtua terhadap kesuksesan anaknya. Anak yang memiliki komunikasi baik dengan orangtua dan gurunya kelak akan menjadi sukses. Sehingga SMA Lazuardi akan meluncurkan SOBAT-21, Sekolah Orangtua Abad 21.Di mana orangtua akan belajar lebih baik lagi mengenai cara berkomunikasi dengan anak-anaknya. 


 

Saya prihatin sih ya, kalau saya mengamati linimasa di media sosial yang sekarang dikuasai oleh Gen-Z, rupanya banyak anak yang kecewa kepada orangtuanya. Saya yakin hanya sedikit orangtua yang jahat. Sebagian besar orangtua pasti mengusahakan yang terbaik untuk masa depan anak-anaknya. Kesalahannya hanya ada di komunikasi. Orangtua kesulitan berkomunikasi dengan anak-anaknya yang sedang puber, sehingga bukannya ditanggapi positif oleh anak, tapi malah negatif.

Vira Adella, Psikolog yang fokus pada pendidikan anak dan Shahnaz Haque, Public Figure, memperbincangkan tentang anak-anak generasi Z. Tantangan apa yang dihadapi oleh Gen-Z? Shahnaz Haque menyebutkan rumus mental juara: kreatif, adaptif, dan kolaboratif. Selama ini sekolah selalu mendorong siswanya menggunakan otak kiri, padahal untuk  menjadi cerdas akademis itu gampang tinggal diulang-ulang pelajarannya. Nah, yang susah itu mengembangkan kreativitas dan kolaboratif, karena menggunakan otak kanan. 


 

Ketika anak disuruh menggambar pemandangan, sebagian besar gambarnya serupa. Jarang ada anak yang menggambar berbeda. Warna langit pasti biru, warna pohon pasti hijau. Padahal, langit bisa juga berwarna merah dan pohon juga ada yang berwarna kuning. Kalau ada anak yang menggambar berbeda, bisa dipastikan anak itu adalah anak yang kreatif. Anak yang bertahan bukanlah anak yang pintar, tapi anak yang kreatif. Contohnya saat pandemi. Banyak orang kehilangan pekerjaan. Anak yang  pintar kesulitan mencari pekerjaan lain karena hanya bisa mengerjakan satu pekerjaan. Sedangkan anak yang kreatif akan melakukan pekerjaan lain yang sesuai di masa pandemi. 

So, gimana menciptakan anak yang sukses? Kuncinya adalah: bentuk karakternya yang baik, aktifkan otak kanannya, dan jaga mulutnya. Hm, kenapa mesti jaga mulut? Soalnya sekarang ini banyak orang yang tergelincir akibat salah bicara. Kalau ingin diterima dengan hati yang baik oleh orang lain, jagalah mulut kita dan anak-anak kita tentunya. 

Psikolog Vira Adella menyebutkan bahwa anak sekarang tidak suka dibandingkan dengan anak orang lain atau bahkan dengan saudaranya sendiri. Orangtua harus memahami komunikasi bersama Gen-Z yang sangat dinamis dan kadang sulit dipahami.  Sekolah harus menjadi tempat yang menyenangkan untuk anak-anak dan mereka bisa maju bersama sehingga tak perlu dibanding-bandingkan dengan anak lainnya. Dengan begitu, tidak akan ada bullying akibat ada anak yang lebih pintar dan bodoh.

Jadi, yuk berubah agar anak-anak bisa melihat sukses itu tidak sendiri tapi bersama-sama! Sejak kecil, orangtua bisa membangun kemandirian anak-anaknya lho. Misalnya, kalau anak tidak habis makannya, Ibu tidak perlu menghabiskannya karena itu akan membangun mental anak bahwa: kalau aku tidak menyelesaikan pekerjaanku, ada Ibu yang akan menyelesaikannya. Begitu juga saat anak tidak mengerjakan tugas sekolah, tidak perlu orangtua bertengkar dengan gurunya. Biarlah anak mendapatkan konsekuensi dari tidak mengerjakan tugas. 

Sudah tentu membutuhkan kerjasama nih antara orangtua dan sekolah agar anak dapat memiliki mental juara. Pilihlah sekolah yang dapat mewadahi komunikasi orangtua dan anak, membangun karakter dan mental kemandirian, serta meningkatkan kemampuan leadership anak. Kalau masih kurang bahasan ini, bisa tonton juga webinar ini di youtube SMA Pintar Lazuardi.


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^