Monday 6 July 2020

Tantangan Mendidik Anak di Rumah

Tahun 2020 ini adalah tahun yang menantang para ibu untuk mendidik anak di rumah. Bukan berarti ibu-ibu tidak pernah mendidik anaknya lho. Setiap ibu adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya. Terutama ketika mereka baru lahir sampai usia balita. Lalu, ibu berbagi tugas dengan para guru di sekolah sejak anak-anak masuk PAUD. Sebab, tidak semua materi pelajaran dikuasai oleh seorang ibu. Ulama-ulama besar di zamannya juga pernah belajar kepada banyak guru, contohnya Imam Syafii.




Nah, tahun 2020 ini spesial sekali untuk para ibu karena kehadiran virus corona atau Covid-19 yang membuat sekolah-sekolah diliburkan dan anak-anak pun harus belajar di rumah. Saya termasuk ibu yang kebagian mengajar 3 anak di rumah dengan rentang usia dan kelas yang berbeda. Kelas 1, 5, dan 6 SD. Anak lelaki semua pula. Jangan dibandingkan dengan guru kelas yang mampu menangani 30 anak sekaligus ya. 
Alhamdulillah, sudah hampir 3 bulan ini saya mendidik anak di rumah. Tentunya saya berharap situasi ini tidak lagi berlangsung lebih lama lagi. Bukan berarti saya tidak mau mendidik anak-anak sendiri di rumah lho, tapi memang tantangannya sangat berat. Tak hanya saya yang merasakannya, melainkan juga sebagian besar wali murid di sekolah anak-anak saya.

Berikut ini tantangan mendidik anak di rumah:

Waktu yang Terbatas 
Baik itu ibu rumah tangga maupun ibu bekerja, memiliki waktu yang terbatas dalam mendidik anak-anaknya seharian. Pada masa pembelajaran, jam belajar dibuat mengikuti jam belajar di sekolah. Pagi hari, anak-anak sudah harus siap untuk belajar, ibunya pun harus berjaga-jaga di depan layar smartphone untuk menunggu intruksi dari guru kelas. Pada saat itu, para ibu juga sudah harus menyiapkan sarapan untuk anak-anak. 

Apabila anaknya hanya satu, mungkin masih bisa diikuti jadwal pelajarannya. Lain halnya kalau anaknya lebih dari satu (dan hampir semua wali murid memiliki anak lebih dari satu). Ibu harus mengecek 2-3 grup whatsapp kelas, memandu anak-anaknya mengerjakan tugas yang diberikan para guru. Bahkan, beberapa tugas harus terlambat diserahkan karena bergantian dengan kakak atau adiknya. 

Mengerjakan tugas via daring 

Kondisi ini sangat berbeda dengan di sekolah. Ketiga anak itu dipegang oleh guru-guru yang berbeda. Di rumah, hanya ibunya seorang yang memegang. Dengan tingkat pendidikan yang berbeda, tugas yang berbeda, tapi harus dikerjakan dalam satu waktu, tentu ibunya kelimpungan.  Apalagi kalau ibunya juga memiliki bayi dan tidak punya pembantu. Sambil mengajari anak-anak, mesin cuci berputar, cucian piring menunggu disentuh, rumah harus dibereskan, dan harus memasak untuk makan siang pula.

Terbayang kerepotannya? Jika anak-anak sekolah di sekolah, semua pekerjaan itu dilakukan oleh banyak orang. Jika anak-anak sekolah di rumah, seorang ibu harus mengambil semua profesi. Waktu yang terbatas itu membuat saya dan ibu-ibu lain pun keteteran. Terutama ibu yang bekerja di kantor. Bayangkan saja, ibu masih harus bekerja di kantor sedangkan anaknya di rumah harus mengikuti jadwal pelajaran dari sekolah. Siapa yang membimbing anaknya? Anak usia SD tidak bisa diintruksikan dari jauh supaya mengerjakan tugasnya. Alhasil, ibunya baru bisa menemani belajar setelah pulang dari kantor, yaitu malam hari. Saya tidak bisa membayangkan kerepotannya. 

Tentunya saya tidak bisa bilang, "salah sendiri kenapa ibu bekerja? Ibu itu di rumah, didik anak-anaknya." Kondisi setiap orang pasti berbeda. Mengapa diciptakan sekolah? Salah satunya untuk membantu para orangtua yang kesulitan memberikan 100% waktunya untuk mendidik anak. Homeschooling bisa menjadi pilihan bagi beberapa orangtua, tapi tidak untuk semua orangtua karena kondisi pekerjaan orangtua pun berbeda. Yang saya lihat, keluarga yang memilih pendidikan homeschooling itu memang solid, suami dan istri sama-sama punya waktu untuk mendidik anak karena pekerjaan yang fleksibel. 

Lain halnya kalau suami harus bekerja penuh waktu, berangkat subuh dan sampai rumah jelang tengah malam sehingga istri sendirian menangani anak-anaknya, suami harus bekerja di kota lain (Long Distance Marriage), suami-istri bekerja di kantor dengan waktu yang tidak fleksibel, ibu di rumah tapi punya anak banyak dan tidak ada pembantu, ibu single mom yang harus mencari nafkah sendiri, dan banyak kondisi lainnya yang tidak ideal. Ibu yang berprofesi menjadi guru pun kerepotan. Dia harus memantau tugas anak-anak didiknya, sekaligus menemani belajar anaknya sendiri. 

Penguasaan Materi
Anak-anak saya sekolah di SD Islam, sehingga mendapatkan mata pelajaran bahasa Arab. Padahal, saya sendiri tidak pernah belajar bahasa Arab karena sejak SD-Kuliah selalu di sekolah di negeri. Saya menyekolahkan anak-anak di SD Islam, supaya mereka mendapatkan pelajaran agama yang dulu tidak pernah saya pelajari. Jadi, bisa dibayangkan toh, bagaimana seorang ibu yang tidak bisa berbahasa Arab tapi harus mengajari anaknya bahasa Arab?

Pengalaman belajar via daring kemarin sangat tidak memuaskan. Terutama bahasa Arab. Bayangkan saja, gurunya hanya memberikan tugas yang harus dikerjakan berupa menyusun kalimat dalam bahasa Arab, sedangkan di dalam buku bahasa Arabnya sendiri tidak dijelaskan artinya per kata. Orangtua harus membuka kamus bahasa Arab, itupun belum tentu sesuai karena bahasa Arabnya berubah-ubah sesuai jenis kelamin orang yang berbicara. Gimana nggak pusing, ya kan? Ibunya nggak pernah belajar bahasa Arab, lalu disuruh membantu mengerjakan tugas bahasa Arab anaknya.

Mendampingi anak belajar di rumah

Pelajaran lain yang sulit adalah Matematika. Saya sendiri waktu SD, nilai Matematika saat kelulusan hanya 4. Untungnya zaman dulu tidak sesaklek sekarang. Nilai 4 pun masih bisa lulus hehe. Jadi, saya tidak bisa mengerjakan soal Matematika mulai dari kelas 4 SD. Alhamdulillah anak pertama saya itu mewarisi genetik bapaknya yang sarjana Matematika, jadi dia bisa mengerjakan sendiri. Pelajaran di sekolah saja dipegang oleh banyak guru. Guru Matematika, guru IPA, guru IPS, semua itu beda-beda orangnya. Masa satu orang ibu harus mengajari semua mata pelajaran? Ya, nggak masoook. 

Metode Pembelajaran Daring Belum Efektif 
Para guru juga mengalami kegagapan bagaimana mengajari anak-anak melalui daring, sehingga mereka hanya mengirimkan tugas-tugas yang harus dikerjakan. Guru-guru tidak ada yang mengajar seperti saat di kelas. Menurut saya, guru yang paling efektif itu hanya guru mengaji. Setiap  murid menelepon gurunya, lalu dicek hapalan dan mengajinya dengan didengarkan langsung, sehingga anak-anak berinteraksi langsung dengan gurunya. Nah, guru-guru mata pelajaran lain hanya sekadar memberikan dan mengoreksi tugas. Supaya anak-anak bisa mengerjakan tugasnya, lagi-lagi ibunya yang harus mengajari. Bagaimana ibunya tidak ngomel? 

Kadang-kadang ada sih guru yang memberikan rekaman video pembelajaran, misalnya guru bahasa Inggris. Dia mengirimkan video cara mengucapkan benda-benda dalam bahasa Inggris. Sayangnya, tidak banyak guru yang seperti itu. Kebanyakan malah hanya mengirimkan link video milik orang lain di youtube. Kalau seperti itu caranya, ya saya juga bisa. Tinggal cari video milik orang lain di youtube, lalu suruh anak saya menontonnya. Saya inginnya guru-gurulah yang membuat rekaman video itu, sehingga anak-anak menonton gurunya sendiri seperti saat sedang mengajar di kelas. 

Tidak heran, banyak wali murid yang keberatan membayar SPP dengan angka yang sama, karena merasa pembelajaran daring belum efektif. Beban pengajaran lebih banyak diserahkan kepada ibu, sedangkan guru hanya memeriksa hasilnya. Ini menjadi tantangan untuk para ibu, bagaimana agar anak-anak bisa memahami pelajaran meskipun diajari oleh ibunya yang tidak ahli dalam pelajaran tersebut. Ibunya kan hanya sekadar tahu tapi tidak mendalami. Tidak seperti guru-guru yang memang setiap hari mengajar pelajaran tersebut. 

Kekurangan Fasilitas 
Fasilitas internet, wifi, smartphone, dan laptop, alhamdulillah saya tidak ada masalah. Tetapi, ibu-ibu lainnya banyak yang masih dalam keterbatasan. Ada yang tidak berlangganan wifi, sehingga biaya internet membengkak berkali-kali lipat. Ada yang smartphonenya hanya satu, sedangkan anaknya ada banyak dan semuanya harus belajar dalam satu waktu. Nah, kalau saya itu yang lucu adalah pelajaran olahraga. Ada praktek lompat jauh yang harus dilakukan di lapangan berpasir. Di rumah, mana ada fasilitas itu. Di lapangan dekat rumah juga nggak ada. Belum lagi, harus praktek holahop juga, sedangkan kami tidak punya alatnya. 

Apakah kami juga harus membeli fasilitas itu supaya bisa menciptakan sekolah di rumah? Lalu, buat apa bayar SPP? Uang SPP bukan sekadar untuk membayar gaji guru, tapi juga membayar fasilitas yang didapatkan di sekolah. Jadi, tantangan orangtua juga nih jika anak-anak harus belajar di rumah, orangtua harus menyediakan fasilitas seperti yang ada di sekolah tapi juga tetap harus bayar SPP.

Kedisplinan Anak
Kalau hari libur itu kita pasti maunya leyeh-leyeh, santai-santai. Mengerjakan sesuatu tidak dikejar-kejar waktu. Iya, kan? Begitu juga anak-anak. Kalau sekolah di rumah, mereka tahunya itu libur. Awal-awal sekolah di rumah, mereka protes. Kan libur? Kok harus sekolah? Meskipun sekolahnya hanya mengerjakan tugas-tugas. Sehingga agak sulit mendisiplinkan anak untuk mengerjakan tugas sesuai waktunya.  

Lain halnya kalau mereka ke sekolah, mereka sudah terbiasa disiplin mengikuti kebiasaan di sekolah. Tentu saja para ibu juga bisa menerapkan kedisplinan itu di rumah, tapi benar-benar membutuhkan kesabaran dan ketegasan. Anak-anak cenderung lebih santai menghadapi ibunya, daripada guru sekolahnya. Semarah-marahnya ibu dan sebaik-baiknya guru, tetap saja anak-anak lebih takut pada guru daripada ibunya. 
Kira-kira itulah tantangan mendidik anak di rumah yang sudah saya rasakan semasa libur covid-19. Saya berharap anak-anak bisa kembali ke sekolah dengan sistem yang tetap mengutamakan keselamatan dan kesehatan anak. Bagaimanapun, virus ini masih belum ditemukan vaksinnya, tapi kehidupan harus terus berjalan. Anak-anak barangkali bisa sekolah dengan dibagi shif-shift untuk meminimalisir kontak dengan banyak teman. Tidak apa jam belajar berkurang, asal tetap berangkat ke sekolah. Kalaupun masih harus sekolah di rumah, semoga saja ada perbaikan dari metode pembelajaran daring, sehingga tidak berat sebelah ke sisi ibu.





4 comments:

  1. Iya Mbaaa, so challenging banget deh, jadi guru intensif untuk nak kanak.
    Semoga apa yg kita lakukan selalu mendapatkan keberkahan ya

    ReplyDelete
  2. Aku kdg abis ngajarin anakku yg sulung, lgs banyakin istighfar secara maraaaah melulu mbaaaaa hahahahha. Duuuh pusing aku jadinyaaa. Secara kesabaranmu itu tipis banget memang. 3x ngejelasin dan si anak ttp ga ngerti, aku udh mulai naik emosi. Sementara bisa jadi caraku yg mengajarkan mungkin yg ga bisa ditangkap anak :(

    Nth udh berapa banyak aku berharap kalo sekolah bisa cepet normal LG dan wabah ini berlalu. Jujur aja simalakama, Krn toh aku msh blm mau kirim anak ke sekolah Krn msh tinggi gini kurvanya. Tapi aku jg udh hampir nyerah ngajarin anak di rumah ...

    Untungnya si adek msh paud dan tugas2nya bisa dibantu Ama babysitter. Jd aku ga harus jd guru utk 2 anak :D . Satu aja puyeeeeng... Salut yaaa para guru2 yg sanggub ngajar sekelas sampe 30 lebih siswa :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Samaan dong jeritan hati kita wkwk... Ini jg anak yang gede malah yang susah diajarinnya hiks

      Delete

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^