Tuesday, 22 March 2016

Anakku ABG, Bagaimana Menghadapinya?

"Kita bukan orangtua sempurna, tetapi cintai anak kita dengan sempurna."

Itu adalah kalimat terakhir yang disampaikan oleh Ibu Rani Razak Noe'man, dalam Workshop Kampung Keluarga bertajuk "Anakku Beranjak ABG" Hari Sabtu, 19 Maret 2016 di Gedung Pers Indonesia, Jalan Kebon Sirih, Gambir, Jakarta Pusat. Di akhir acara, air mata saya dibuat berderai-derai melihat video tentang hubungan Ayah dan Anak yang kurang baik, si ayah suka marah-marah sampai anaknya minggat, tetapi kemudian diakhiri dengan adegan dramatis yang membuat si anak menyadari bahwa cinta sang ayah kepadanya sangatlah besar. Hiks, jadi ingat ayah sendiri. 


Alhamdulillah sekali, saya merasa sangat beruntung datang ke acara ini. Sarat ilmu yang sayang dilewatkan. Anak-anak saya memang belum ABG, yang paling  besar umurnya baru delapan tahun. Eh, tapi tidak lama lagi mereka memasuki usia ABG. Menurut Ibu Rani, anak-anak sekarang lebih cepat dewasa. Usia 10 tahun, sudah dapat menstruasi! Tugas orangtualah untuk memperlambat proses kedewasaan itu, biarkan berjalan secara alami. Mengapa? Karena proses pubertas yang terlalu cepat itu diakibatkan oleh faktor lingkungan. Sedangkan secara sosiologis, baik itu pola pikir, emosi, tanggung jawab, visi, seorang anak belumlah dewasa. Jika terjadi kesenjangan yang sangat besar, akibatnya ya yang sekarang ini banyak terjadi. Orang yang dewasa dari segi umur, tetapi perilakunya masih kekanak-kanakan. Itu karena mereka dipaksa untuk cepat dewasa oleh tontonan dan sebagainya.

Acara dibuka dengan menonton video
Indonesia ini masih belum memiliki tontonan yang baik untuk anak-anak, serta hukum yang tegas untuk melindungi anak-anak. Lihat saja berita-berita mengerikan yang beredar, banyak anak yang menjadi korban kejahatan seksual orang dewasa. Sebenarnya sama saja menjadi orangtua zaman dulu dengan zaman sekarang. Sama-sama susah. Bedanya, zaman sekarang lebih sulit karena adanya kemajuan teknologi. Sulitnya kita sudah membentengi anak dari pornografi, eh anak-anak bisa dengan mudah mendapatkannya dari internet. Dan ternyata, mengasuh anak remaja itu LEBIH SULIT daripada anak kecil. Banyak orangtua yang gagap, tidak tahu cara menghadapi anak ABG-nya. Apalagi dengan adanya perbedaan zaman. Misalnya, zaman saya dulu belum ada handphone apalagi smartphone. Zaman sekarang? 

Peserta diajak mengisi hal-hal yang diinginkan semasa remaja dan yang disebali dari orangtua

Belum lagi, banyak orangtua yang memiliki dendam positif. Ingin anaknya mewujudkan mimpi orangtua, padahal anak-anak punya mimpi sendiri. Nah ini nih yang sering memicu konflik orangtua dan anak. Kalau anak punya mimpi dan cita-cita yang berbeda dari yang lain, orangtua sudah ketakutan. Ibu Rani mencontohkan anak keduanya yang pernah ingin jadi tukang pijat. Orangtua mana yang mau anaknya menjadi tukang pijat, coba? Tetapi, Ibu Rani tidak serta merta melarang. Dibiarkan anaknya mengikuti keinginanya itu sampai kemudian menemukan bahwa dia tidak serius ingin jadi tukang pijat. 

Ketika anak sudah remaja, banyak orangtua yang juga berpikir bahwa tugasnya sudah selesai. Anak sudah bisa mengurus dirinya sendiri. Orangtua pun sibuk mencari kegiatan lain. Ingin eksis, misalnya. Tanpa disadari, orangtua kehilangan waktu bersama anak. Padahal, anak-anak masih membutuhkan orangtua. Akhirnya, anak-anak mencari tempat curhat yang lain. So, jadilah sahabat anak. Walaupun anak sudah remaja, orangtua ya jangan jadi cuek bebek gitu. Ibu Rani mengajak peserta untuk menuliskan hal-hal yang diinginkan sewaktu remaja dan hal-hal yang tidak disukai dari orangtua. Wuiih.. jadi nostalgia nih. Ternyata, apa yang dulu kita inginkan di masa remaja itu sama kok dengan yang diinginkan anak-anak kita di masa remajanya. Kalau kita tidak ingin anak-anak membenci kita, ya jangan lakukan hal-hal yang dulu kita sebali dari orangtua. 

Usia remaja itu dimulai dari 12 tahun sampai 18 tahun. Usia 15 tahun itu puncak kegalauan. Permasalahannya ada tiga: Materialisme, Keluarga, dan Sekolah. Anak-anak di zaman sekarang makin berat tantangannya, karena materialisme semakin kuat mencengkeram. Ibu Rani memutarkan berita mengenai anak-anak yang terlihat seks komersial demi UANG! Anak-anak SMP menjajakan tubuhnya demi mendapatkan uang beberapa ratus ribu! Mengerikan, ya? Tragisnya, anak-anak modern mendapatkan alternatif pengganti keluarga atau orangtua, diantaranya: Televisi, Pembantu, Teman Sebaya. Atas nama kesibukan, orangtua yang sebenarnya justru hanya punya sedikit waktu untuk anak-anak. 

Satu lagi pesan yang membekas di hati saya, "Apa pun yang terjadi, anak-anak itu dititipkan kepada KITA (orangtuanya), bukan kepada siapa pun (Televisi, Pembantu, Kakek-Nenek, apalagi Teman Sebaya)." 

Sekolah, bukanlah tempat untuk menitipkan anak-anak. Orangtua tetaplah pendidik pertama. Ibu Rani menyarankan, anak usia 6-17 tahun hendaknya tetap bersama orangtuanya. Jangan dulu disekolahkan full day atau pesantren. Sekolah sekarang ini hanya mementingkan kurikulum akademik, bukan pengembangan kedewasaan anak. Orangtualah yang mestinya membimbing anak menghadapi kedewasaan. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa keluarga yang berfungsi dengan baik mampu menjadi  benteng pertahanan yang kuat bagi anak  dalam menghadapi  nilai-nilai negatif yang datang dari luar. 

Ibu Rani Razak Noe'man

Bagaimana solusinya? Pendidikan agama, sudah tentu menjadi solusi pertama. Hubungan seks itu pada dasarnya tidak ada aturannya. Orang bebas mau melakukan hubungan seks sesama jenis, seks dengan binatang, seks sendirian, dan sebagainya. Lalu, siapa yang membatasi? Ya, hukum agama. Jadi anak-anak harus didekatkan dengan agama, bukan sekadar ritual. Terlebih di zaman sekarang ini di mana kaum liberal begitu kuatnya mencengkeram anak-anak. Menanamkan paham hak asasi manusia yang kebablasan. Hubungan sesama jenis dianggap hal biasa dan NORMAL. Ibu Rani pun memutar sekilas video sesama lelaki yang berciuman. Video itu apabila terus diputar dan ditanamkan di dalam otak anak akan menimbulkan pemikiran bahwa hubungan sesama jenis itu normal. Di Australia, sudah banyak orangtua yang mengeluarkan anaknya dari sekolah umum karena sudah diberlakukan pelajaran bahwa hubungan sesama jenis itu normal. Bayangkan kalau itu terjadi di Indonesia? 

Kedua, bangun kedewasaannya. Anak harus diajak menetapkan tujuan utamanya, sehingga dia mengabaikan hal-hal kecil yang remeh temeh. Misalnya, tanyakan apa cita-cita anak. Ingin jadi dokter? Berarti dia harus sekolah yang tinggi. Ketika anak ingin berpacaran, orangtua bisa mengingatkan anak terhadap cita-citanya itu. "Kan kamu ingin jadi dokter? Kalau pacaran, nanti perhatianmu terbagi." Nanti anak akan berpikir lagi. Mau pacaran atau serius kuliah dulu? Gityu... 

Ketiga, ajarkan nilai-nilai universal. Orangtua harus mau mendengarkan anak. Kalau anak curhat, orangtua jangan marah atau menasihati dulu. Cukup didengarkan saja. Jadilah sahabat yang baik untuk anak. Berikan kebebasan, tapi harus bertanggungjawab. Bantu anak meraih mimpinya, jangan belum-belum sudah melarang. Apa pun mimpi anak, selama itu baik, orangtua hanya berperan untuk mengarahkan. Bukan memaksa anak mewujudkan mimpi orangtua. 

Isi goodiebag

Tak terasa, waktu tiga jam pun berakhir. Rasanya masih belum cukup, apalagi Ibu Rani sangat asyik membawakan workshop yang interaktif ini. Beberapa kali peserta diajak mengikuti games yang berkaitan dengan tema. Alhamdulillah, saya menang lomba live tweet juga dan mendapatkan tambahan pashmina dari Move Inc Hijab. Sebelumnya, saya sudah dapat pashmina juga di goodiebagnya. Cantik-cantik deh pashminanya. Kudapan dari Dapur Bugis juga enak banget. Daaan.. ada voucher Rp 500.000 dari Optik A. Kasoem Cikini. Uhuuui... saya bisa ganti kacamata, deh. Terima kasih untuk semua sponsor. Ilmu dapat, hadiah juga dapat. Tentu saja saya juga berterima kasih kepada Blogger Reporter yang sudah memfasilitasi kedatangan saya ke acara ini.



Acara ini dipersembahkan oleh:
Kampung Keluarga (Twitter, Instagram @KampungKeluarga, Fanspage: Kampung Keluarga)
Move Inc Hijab (Instagram @move.inc.hijab)
Kayva Hijab Clothing (Twitter @kayvastyle, Instagram @kayva_style, Fanspage: Kayva)
Dapur Bugis (Instagram @dapurbugis)
Marsh Indo (Instagram @marsh.indo)
The Urban Mama (Twitter @theurbanmama, Instagram @the_urbanmama, Fasnpage the urban mama)
Optik A. Kasoem (Twitter @kasoemoptik, Instagram @a.kasoem), Fanspage: Optikal A. Kasoem Cikini) 
Viva.co.id


18 comments:

  1. Postingannya pas banget nih, Mbak. Anak saya menjelang remaja dan saya malah makin merasa kalo anak saya makin perlu perhatian otang tua. Makin banyak ingin tahunya, yg kalau salah tempat bertanya malah makin repot nantinya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul mbak. Orangtua harus jadi tempat bertanya yang pertama untuk anak.

      Delete
  2. Meski anak2ku masih kecil udah deg2an aja mbayangin kalo mereka beranjak remaja :D

    ReplyDelete
  3. menjadi org tua saat ini, harus terus menimba ilmu pengasuhan
    jd bisa merangkul anak-anak.
    anak sy juga mulai ABG mbak, musti terus belajar
    salam sehat dan sukses amin

    ReplyDelete
  4. Aku nih lengkap ada anak kecil, abg dan dewasa muda di rumahku.

    ReplyDelete
  5. Salam kenal Mbak Leyla, terima kasih sharingnya. Bermanfaat sekali, anak saya sedang beranjak abg dan seperti yg Mbak Leyla tulis di atas, semuanya nyata Mbak. Semoga anak2 kita tumbuh menjadi pribadi yg baik, soleh dan solehah...aamiin

    ReplyDelete
  6. anakku masih mau 7 taun, mba.. tapi ini penting bangeeet.. Membesarkan dan mendidik anak di jaman sekarang ini memang susaah. Dikencengin, ntar anaknya membelot, kalo dilos, kasian juga ntar waktu dia besar. Aku skrg dalam tahap was-was mbaa.. apalagi liat berita2 di tivi.. ngerinya minta ampun..

    smoga diberi kekuatan dan kesabaran dan mengasuh dan mendidik anak, biar jadi soleh/solehah.. aamiin..

    ReplyDelete
  7. Ibuk saya juga sering bilang mbak kalau didik anak jaman sekarang itu gampang2 sulit. Dikeras ya jadinya gak baik. Didiemin apalagi. Hem...jadi tantangan tersendiri bagi saya utk mendidik Kak Ghifa nih mbak. Terima kasih mbak sharing ilmunya sgat bermanfaat.

    ReplyDelete
  8. hiks, quotenya mengena banget ya

    ReplyDelete
  9. Acaranya keren yaa. Kebetulan saya sendiri bingung menghadapi adik saya yang sudah abege. Berusaha untuk menempatkan diri pada posisi yang sejajar saat berbincang itu sulitnyaa bukan main. Huhuhu ternyata gini yaa rasanya jadi sosok Ibu, belum apa2 udah mewek duluan saya.

    ReplyDelete
  10. aku sendiri beum nikah bu, jadi g punya pengalaman sama beginian, cuman kadang suka parno kalau nanti menikah terus punya anak, apa anakku besok bisa jadi anak yg baik kalau udah ABG nanti? tapi setidaknya dengan baca2 postingan begini, nambah ilmu baru buat aku yang masih single :D

    ReplyDelete
  11. Waah bagus sekali ya mbak workshopnya. Sayang aku ngak ikutan. tapi kemarin sempat berdiskusi sih dengan sahabat-sahabat yang anaknya menjelang remaja dan sudah remaja. jadi banyak ilmu juga yang kudapat. Kan dua tahun lagi si kakak SMP. JAdi butuh ngerti juga dunia ABG.

    ReplyDelete
  12. aku bac aulang ah, anakku udah mulai masuk nih

    ReplyDelete
  13. suka gmn gitu membayang anak2 abg kelak, deg-deg an tapi harus siap

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah selama ini aku dan suami menempatkan posisi kami kapan seperti orang tua pada umumnya kapan seperti teman.. cara ini bikin anak2 gampang terbuka pada hal2 sehari yg mereka alami. Makasih sharenya ya mba :)

    ReplyDelete
  15. Kalau mau jadi "sahabat anak", kayaknya mesti dari kecil. Kadang ada pikiran, "ah, anak kecil ini." Padahal anak kecil punya pikiran sendiri juga. #bukancucrol

    ReplyDelete
  16. yang kaya gini banyak dicari ya mbak...banyak orang tua bingung dan kaget dengan perubahan masa nakan-anak ke dewasa..

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^