Saturday 7 September 2019

Mewaspadai Gejala Depresi pada Anak

"Mah, ada mahasiswa ITB yang bunuh diri," cerita suami saya, sepulang dari kantor. Dia sendiri lulusan ITB, sehingga kasus ini menarik perhatiannya. 
"Serius?!" 
"Iyalah. Ada di berita tuh. Anaknya pinter pula. Pernah juara olimpiade sains." 
"Tuh kan, makanya aku gak mau terlalu memaksa anak untuk belajar. Apalagi mereka udah sekolah sampe sore. Di rumah, belajar lagi sampe malem." 



Ya, tapi bukan berarti anak-anak saya nggak belajar juga kalau malam.  Sesekali saya mengajari mereka, melihat situasi dan kondisi. Kalau anaknya sudah kelihatan capek, ya saya nggak paksa belajar. Akibatnya memang prestasi anak-anak saya di sekolah ya biasa saja. Bukan anak yang sering membawa pulang piala.



Toh, saya dan dan suami saya dulu sewaktu SD juga bukan anak-anak yang hobi ikut lomba dan pulang bawa piala. Yang penting kami tidak lepas tanggungjawab mendidik anak. Saya tidak mau aktivitas belajar menjadi kegiatan yang menekan fisik dan jiwa anak. Saya mau mereka melihat belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan. Bukan beban. Sesuatu yang dianggap beban itu akan memberatkan mental. 
Sewaktu sekolah dulu, saya tahu rasanya mimpi buruk karena ujian. Ya, saya sering bermimpi sedang mengikuti ujian di sekolah. Mimpi itu sangat buruk, karena menggambarkan kondisi di mana saya dikejar-kejar oleh soal ujian. Saat mengalami mimpi itu, saya memang cukup berprestasi di sekolah karena jadi rangking 1 di kelas dan bisa masuk PTN tanpa tes. Baru segitu saja sudah mimpi buruk ya. 

Kasus mahasiswa berprestasi yang bunuh diri ini mengingatkan saya dengan drama Korea berjudul SKY Castle. Drama ini sangat populer lho. Kalau belum nonton, buruan nonton. Banyak pelajaran untuk orangtua. Di drama ini, diceritakan bagaimana ambisi para orangtua di Korsel yang ingin memasukkan anaknya ke sekolah unggulan dengan memaksa anaknya untuk belajar keras. 

Drama Sky Castle 

Saya bukan menyalahkan orangtua. Setiap orangtua tentu menginginkan kehidupan yang terbaik untuk anak-anaknya. Jangan sampai anaknya gagal di masa depan. Pendidikan adalah bekal utama untuk meraih kesuksesan, sehingga tak heran jika banyak orangtua yang berusaha mendorong anaknya agar menguasai banyak hal.

Namun, jangan sampai prestasi yang diperoleh anak itu hanyalah ambisi orangtuanya. Misalnya saja di drakor Sky Castle, semua orangtua itu digambarkan berprofesi sebagai dokter karena perumahan Sky Castle itu memang perumahan untuk para dokter. Nah, para orangtua ini memaksakan anaknya agar menjadi dokter juga, padahal ada anak yang tak ingin menjadi dokter. 

Balik lagi ke kasus mahasiswa ITB yang bunuh diri ini. Ternyata dia menulis di blog dan sudah menceritakan tentang penyakit depresinya. Kalau dirangkum dari tulisannya itu, penyebab depresi dikarenakan kesepian, tekanan belajar, dan hubungan dengan orangtua. Almarhum sudah berprestasi sejak SD, sampai mendapatkan beasiswa untuk sekolah boarding (asrama) dari SMP-SMA, hubungan dengan orangtua juga kurang hangat.

Bisa dilihat ya dengan sekolah di asrama, almarhum terpisah dari orangtua sejak SMP. Kehangatan dan kasih sayang orangtua kurang dirasakan dengan perbedaan jarak. Di sekolah pun, almarhum mengatakan bahwa dia sulit bergaul dan hanya punya sedikit teman. 

Gejala depresi sebenarnya sudah ada yang bisa dilihat dari tulisan di blognya.  Di antara gejala depresi itu adalah mudah sedih, sulit berinteraksi dengan orang lain, gelisah, dan ingin bunuh diri. Bahkan, almarhum juga sudah berobat ke psikiater. Akan tetapi, memang masyarakat kita belum banyak paham dengan bahaya depresi. Dikiranya hanya curhat semata. 

Gejala depresi yang ditulis di blognya 

Keinginan untuk mati 

Anak-anak yang pendiam dan penyendiri memiliki risiko besar untuk depresi, karena mereka menyimpan masalahnya sendiri. Sebenarnya orangtua bisa menjadi tempat curhat anak. Masalahnya, menjadi orangtua yang hangat itu memang tidak mudah. Sediakan waktu eksklusif bersama anak.

Terutama untuk orangtua yang menyekolahkan anaknya ke asrama atau pesantren. Ketika anak pulang ke rumah, sediakan waktu untuk anak. Kalau mau jalan-jalan ya anaknya diajak juga, gitu. Jangan pas anaknya pulang, orangtuanya malah pergi. Berikan sambutan yang istimewa untuk anak dengan makanan yang enak dan tempat curhat. 

Kecerdasan intelektual memang penting, tapi kecerdasan emosional juga tak kalah penting. Kecerdasan emosi (EQ) adalah kemampuan mengekspresikan emosi dan mengatasinya dengan cara yang positif dalam situasi yang penuh tekanan. 

Anak yang punya IQ tinggi belum tentu punya EQ tinggi. Padahal EQ ini juga menentukan kesanggupan anak dalam mengatasi stres. Peran orangtua sangat penting untuk mengembangkan EQ anak. Yang utama adalah mengajak anak berkomunikasi dan mengungkapkan emosi yang dirasakannya. Selain itu, juga membantu anak untuk mengontrol emosi, membantu anak berempati, dan menjalin hubungan dengan orang lain. 
Kuncinya adalah komunikasi orangtua dan anak. Ini memang PR yang berat apalagi untuk orangtua yang sibuk dan pendiam. Jangan sampai saat berkomunikasi dengan anak, yang keluar dari bibir kita hanya tekanan dan tuntutan. 

Semoga kita bisa menjadi orangtua yang mewaspadai gejala depresi pada anak dan tidak menyesali di lain hari. 

3 comments:

  1. Saya dulu juga pernah merasakan gejala depresi saat sd, di sekolah di buly di rumah di marahin mulu tetapi alhamdulillah bisa lebih baik seiring berjalannya waktu.
    Sekarang saya sudah menikah dan punya anak, saya berharap agar anak saya tidak mengalami nasib serupa seperti saya.

    ReplyDelete
  2. innalillahi wainnaillahi rojoun, semoga amal ibadah almarhum diterima Allah SWT. Keluarga yg ditinggalkan diberi ketabahan.

    Dan ini self reminder buat kita para orang tua, apalagi di jaman kekinian ini ya mbak. Benar-benar tantangan besar, bismillah semoga Allah SWT selalu melindungi kita semua.

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^