Wednesday 23 January 2019

Sekolah Ibu, Mengapa Hanya Ibu yang Perlu Sekolah?

Ibu-ibu belajar masak, biar bisa masakin suami 🤣


Pagi ini, saat mau menyeduh kopi, saya baru sadar kalau suami saya belum mengangkat galon ke dispenser. Galon air yang ada di dispenser sudah kosong. Secepat kilat, saya mengambil ponsel dan "mengomeli" suami via whatsapp. Sebab, sudah sejak malam saya berpesan kepadanya untuk mengangkat galon air yang baru ke dispenser. Seperti biasa, dia lupa karena tidak langsung dikerjakan. 


Itu sebenarnya hanya masalah ringan. Saya juga bisa mengangkat air galon sendiri (kalau suami lupa seperti hari ini atau airnya habis saat suami tidak di rumah). Tapi bagi saya, suami harus "diomeli" karena sudah sering lalai seperti itu. Kelihatannya, saya bukan istri solehah ya karena berani mengomeli suami wkwkwk.... 

Ketika saya sudah berani membicarakan unek-unek saya kepada suami, memang awalnya suami saya menyebut saya tidak taat dan suka membantah. Itu tipikal suami kebanyakan kok. Wajar saja. Hampir sebagian besar suami berpikir bahwa istri harus menurut, tidak boleh membantah, dan yang paling ekstrim ya tidak boleh mengemukakan pendapatnya. 

Di awal menikah sampai 3 tahun pertama, saya berada di bawah tekanan itu. Sehingga saya sering minta cerai. Untungnya, kalau istri yang ngomong cerai, nggak bisa jadi talak. Lalu saya berpikir bahwa saya harus bicara. Saya harus berani mengungkapkan harapan saya kepada suami, seperti: 

"Aku ingin kamu membantu pekerjaan rumah tangga." 
"Aku ingin kamu menambah uang belanja, karena harga barang sudah naik semua." 
"Aku ingin kamu mengajak anak bermain saat aku sedang sibuk di dapur." 

dan sebagainya. 
Komunikasi yang buruk adalah masalah terbesar di dalam rumah tangga. Suami istri harusnya bisa menjadi sahabat. Namanya sahabat itu ya saling terbuka dan berani mengungkapkan isi hati. Suami harus tahu perasaan istrinya, istri juga begitu. Sebagai istri, jujur ya, kita tak bisa berharap suami bisa peka. Kita harus memberitahu mereka apa yang mengganjal di dalam hati kita.

Maka, saya mulai mencoba mengungkapkan unek-unek saya itu ke suami dengan menulis surat. Iya, menulis surat. Lalu saya suruh suami membacanya. Bahasanya begini, "Aku tulis surat untuk kamu di laptop. Baca ya." Saat itu belum ada internet. Kalau bicara via sms, nggak bisa panjang. Mengapa bicara via tulisan? 

Percaya deh, banyak istri yang tidak bisa bicara langsung ke suami via lisan. Mereka dikuasai oleh rasa takut dan segan. Saya juga begitu di awal pernikahan. Suami saya terasa seperti orang asing karena dia juga pendiam. Saya tersiksa dengan sikap pendiamnya itu. Kalau bicara via mulut, banyak juga suami yang tidak mendengarkan. Kita sudah bicara panjang lebar, begitu kita tanya apa dia mengerti. Dia balik tanya, "eh tadi ngomong apa?" Wuasem...

Mengapa istri yang harus mulai berbicara? Karena kebanyakan suami tak peka. Itu yang membuat perceraian. Saat bicara ke suami itu yang singkat tapi jelas. Pastikan suami mendengarnya. Kadang saya diomeli juga karena dianggap membentak suami, padahal saya ngomong kencang supaya dengar. Buktinya semalam, saya ngomong lembut minta tolong diangkatin galon eh dia antara lupa dan nggak dengar. 

Kini, saya adalah istri yang mudah berkomunikasi dengan suami. Semua unek-unek tak lagi tertahan di hati saya sampai ingin minta cerai atau bahkan bunuh diri. No, no, no. Saya langsung ucapkan saja ke suami. Suami saya juga sudah terbiasa menerima unek-unek saya. Dulu, kalau saya mengomel di pesan singkat, dia akan balik ngomel. Wis lah pokoknya nggak mau disalahkan. Ya itulah laki-laki. Tapi sekarang, kalau salah ya sadar. "Oya, aku lupa." 

Itu karena saya selalu bicara ya, ini penting lho. Entah terbuat dari apa pikiran suami, nyatanya memang banyak yang nggak sadar akan peran istri. Suami saya juga dulu sering bilang, "mama itu kerjanya apa? Di rumah saja, paling tidur." Itu beneran lho, memang banyak suami yang berpikir seperti itu. Istri harus berani bantah dong. Saya langsung bilang, 

"Lho, memangnya yang nyuci piring, nyetrika, ngepel, nyuci baju, ngasuh anak itu siapa?" 

atau... 

"Aku capek seharian nyuci bajulah, nyuci piringlah, mainan berantakan di mana-mana, dll." 

atau....

"Aku ini bukan pembantu. Aku kan nggak dibayar.  Aku ingin Ayah bantuin yang kecil-kecil aja gak apa deh. Angkat galon dan angkat cucian ke tempat jemuran." 

Suami memang harus disadarkan bahwa istrinya tidak menganggur. Istri juga jangan segan untuk bilang kalau dia lelah, capek. Kalau anaknya bikin ulah, ceritakan saja ke suami. Suami pernah bilang kalau saya tukang mengadu karena nyeritain kenakalan anak-anaknya ke dia. Lho, aneh betul ya? Kok dibilang mengadu. Itu dia, pikiran suami sering sulit dimengerti, sama halnya istri juga sering sulit dimengerti oleh suaminya hehe... Itu pentingnya komunikasi yang baik. 

"Itu kan anak-anak kamu juga. Masa kamu nggak mau tahu seharian ini anakmu ngapain aja?" begitu kata saya. 

Para suami harus selalu dikasihtau bahwa itu anak-anak mereka juga, bukan hanya anak istrinya. Dengan begitu, suami juga akan dekat dengan anaknya dan berpikir beribu kali kalau mau selingkuh atau bercerai. 

Lalu, apa hubungannya dengan Sekolah Ibu yang direncanakan oleh Hengky Kurniawan dan diprotes banyak ibu? Katanya, jangan hanya ibu saja yang sekolah. Bapak juga dong. Salah satu tujuan Sekolah Ibu seperti yang disebutkan oleh Hengky adalah mengajarkan istri agar bisa menghadapi suaminya, salah satunya ya berkomunikasi yang baik dengan suaminya sehingga menekan angka perceraian.

Sekolah Ibu ala Hengky Kurniawan

Kalau menurut saya, apa yang dikatakan oleh Hengky itu nggak salah kok. Mengapa tak ada Sekolah Bapak? Alasannya sih kalau menurut saya ya bapak-bapak mana sempat sekolah kalau seharian mencari nafkah? Itu kalau bapaknya bukan pengangguran ya. Sebagian besar bapak kan bertugas mencari nafkah. Seperti suami saya, pergi pagi pulang malam. Kapan sekolahnya? 

Di akhir pekan? Saya justru lebih senang kalau suami di rumah saja membantu pekerjaan rumah tangga atau mengajak saya jalan-jalan ke mall hahahah.... Sedangkan para istri yang tidak bekerja di luar rumah, memiliki lebih banyak waktu untuk sekolah. Dan memang kalau saya lihat ya sasaran Sekolah Ibu itu adalah ibu yang tidak bekerja di luar rumah, seperti saya, karena nantinya akan diajari juga keterampilan agar bisa bekerja dari rumah. Para ibu juga lebih mudah diajak untuk kumpul-kumpul dan belajar, toh mereka juga sering mengadakan arisan untuk mengisi waktu luang. 

Dimulai dari istrinya dulu, nanti ditransfer kepada suaminya. Waktunya lebih fleksibel, karena saya mentransfer ilmu pernikahan itu ke suami ya bisa kapan saja. Misalnya, via whatsapp atau saat sedang mengobrol santai. Saya kasih tahu teladan Nabi Muhammad kepada istrinya. Materi agama yang diajarkan ustaz kan lebih banyak menyebutkan tugas istri kepada suami. Nah kita para istri harus pandai mencaritahu bahwa suami juga harus memperlakukan istri dengan baik. Saya juga memforward ilmu-ilmu dari psikolog kepada suami. 

Tidak semua istri bisa belajar otodidak tentang cara  menghadapi dan berkomunikasi dengan baik kepada suami atau mencari penghasilan tambahan dari rumah, seperti saya. Saya memang belajar komunikasi itu secara otodidak. Saya baca dari majalah-majalah dan internet. Kadang juga saya ikut seminar pernikahan. Lalu, saya terapkan kepada suami. Hasilnya? 

Alhamdulillah, sekarang saya merasa nyaman berbicara kepada suami karena seperti bicara kepada sahabat saja. Suami juga memahami dan tahu bagaimana cara menanggapi saya. Sekarang saya sudah tak pernah minta cerai lagi. Ups.. Naudzubillahimindzalik yaa.. Semoga kami selalu berkomitmen menjaga ikatan pernikahan ini sampai bertemu kembali di surga. Aamiin....
Itu karena saya punya akses untuk belajar, bagaimana dengan banyak ibu di kampung-kampung yang tidak punya akses? Dan itu banyaak lho. Banyak ibu yang belum terhubung dengan internet dan buku-buku. Apalagi ikut seminar pernikahan. Jadi, kalau ada pemerintah daerah yang ingin membuat Sekolah Ibu, sangat patut diapresiasi. Ibu-ibu bisa belajar secara gratis. Lah wong kalo belajar otodidak kan mesti keluar modal. Setidaknya mesti beli buku pernikahan dan kuota internet.

Walaupun begitu, Sekolah Bapak bisa juga diadakan. Mungkin di akhir pekan selama 2 jam. Tapi entah ya apakah suami saya mau ikutan? Soalnya sering saya suruh gantian menunggu rumah dan menjaga anak-anak, supaya saya bisa ikut event blogger dan kongko-kongko dengan ibu-ibu lain wkwkwkwk.......

15 comments:

  1. Saya juga bukan kriteria istri Solehah nih mbak, karena masih doyan ngomel sama suami. Duh �� apalagi diawal2 menikah, capek ngurus anak dan masih masa transisi pengenalan karena kami tidak melewati masa pacaran sebelum nikah, tapi lama kelamaan semakin ketemu jalan, membangun rasa saling pengertian (ini yang masih harus saling memperjuangkan). Mau juga ah browsing-browsing cara komunikasi utk membuat keluarga makin harmonis. ^^

    ReplyDelete
  2. Whoaaah, you are not alone mak Elaaa. Akupun suka ngomelin suami, cuma gara2 hal simple. Sbnrnya sih bukan marahin, tapi marah. Kek contohnya angkat galon gitu. Udah dibilang berkali2 tetep aja gak dikerjain. Kan bikin emosi?!

    Ya tapi, aku langsung ingat, kembali lg kodratnya, memang suami itu gak bisa berpikiran multitask spt layaknya seorang istri yg bs ngerjain ini itu. Beda sama kita yg bisa ngerjain banyak hal at the same time.

    Memang gk ada sekolah untuk bapak2, bahkan utk ibu2 juga gak ada. Karena kunci dr langgengnya bukan dr sekolah apa gaknya, tapi komunikasi ya.

    ReplyDelete
  3. Sekolanya online aja bisa gak heheh. Sempat rame ya postingan itu wabup KBB tsb ya.

    ReplyDelete
  4. Saya kira saya sajja yg pernah punya ide buruk buat bunuh diri, wkwkwk. Namanya depresi ya itu. Capek sendiri gara2 suami yg ngerasa udah jadi kepala keluarga pencari nafkah, jadi gak mau bantuin istri yg kerja 24 jam. Yap semua telah berlalu berkat komunikasi yg baik

    ReplyDelete
  5. Duh itu pro kontra banget ya caption sesebapaknya. Lagipula kalau memang mau ada sekolah buat bapak2 bisa juga. Atau kayak upgrade ilmu parenting, jadi kedua pasangan hadir semua. Lebih enak dan yang jelas ilmu yg diberikan jangan berat di satu pihak.

    Karena pasangan suami istri kan teamwork ya, jadi harus sama2 berjuang semua demi keharmonisan, bukan hanya satu pihak yg nurut terus :)

    ReplyDelete
  6. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  7. Sebenarnya tujuan Sekolah Ibu itu bagus sih, cuma cara penyampaian si Bapak kurang tepat membuat netijen jadi pro-kontra sampe jadi berita.

    Setuju banget kalo kunci pernikahan itu komunikasi antara suami dan istri secara 2 arah. Kalo bisa sama-sama belajar ilmu parenting walo gak ada sekolah khususnya. Kan bisa dari buku, seminar atau baca di media online.

    ReplyDelete
  8. Mb...awal2 nikah, aku juga sering miskomunikasi sama suami. Soalnya dia itu pendiam banget... Males kan klo aku mesti pke bahasa kebatinan...�� Tp seiring waktu berjalan, lama2 terbiasa. Jadi aku nggak baper an. Malah cenderung cuek akhirnya.

    Ya menurutku dua belah pihak si yang harus belajar. Istri memahami suami dan job desk nya, sementara sebaliknya suami juga mesti memahami istri

    ReplyDelete
  9. Memang kodratnya para lelaki/suami ga peka ya, hampir semua begitu, maka istrilah yang kadang bawel hhiiii, intinya harus ada rasa saling dalam pernikhan.

    ReplyDelete
  10. Selain gak peka, suami juga kadang-kadang egonya lebih tinggi. Tetapi, istri juga suka banyak kodenya kalau mau ngomong. Berkomunikasi memang harus ada seninya. Kalau sekarang, saya mendingan to the point aja lah kalau ngomong. Daripada nanti jadi uring-uringan hahaha

    ReplyDelete
  11. Wkwkw iya suami para blogger seringnya dapat tugas jadi papa sitter, jagain anak kalau kita ada event di luar ya haha..

    ReplyDelete
  12. Saya mah jauh dari istri dan ibu yang sempurna dan sholehah, masih banyak yang harus dibenahi dan guru terbaik saya yaitu anak, suami dan kehidupan. Satu hal yang pasti, saya melakukan yang terbaik untuk anak dan suami. Selama mereka happy dengan apa yang saya lakukan, i feel glad, indeed

    ReplyDelete
  13. Sempat rame soal berita sekolah ibu ini ya mba. Pro kontra gitu deh kaya biasa. Tapi lewat tulisan ini aku dapat insight baru. Waiya mungkin niatnya bukan untuk menyalahkan atau mendikte bu ibu, tapi bu ibu punya waktu yang lebih fleksibel. Berawal dari ibu, nantinya bisa disebarkan ke seluruh anggota keluarga :)

    ReplyDelete
  14. Baca tulisan Mak Ela jadi inget kemarin Mamahku bahas soal Sekolah Ibu dan aku baru tau rame2 gini wkwkwkwk


    Klo dulu awal menikah yg sering ngomel itu Pak Gondrong, sekarang gantian aku. Misalnya Pak Gondrong keceplosan ngomong hal kurang baik di depan Mada, trus ditiru. Aku bisa ngomel 3 hari 3 malam. Klo tanggepannya datar, bisa nyambung jadi seminggu hehehehe.

    Yeah, dalam rumah tangga koentjinya memang komunikasi dua arah. Harus lebih banyak saling mendengarkan :)



    ReplyDelete
  15. Aku kalau bete nulis unek2nya si WA, kalau ngomong langsung agak gimana ya. Untuk sekolah ibu, kalau memang ilmunya bermanfaat kenapa nggak ya mba.

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^