Friday 8 August 2014

Menempuh Perjalanan Mudik Selama 12 Jam Tanpa Bosan

Siap mudik!

Mudik? Apa yang terbayang di benak kita? Macet? Yup! Itu juga yang terbayang di benak saya dan suami setiap kali akan mudik lebaran. Kami selalu memikirkan rencana mudik agar jangan sampai terkena macet panjang. Ketika anak-anak masih balita dan belum sekolah, saya mudik duluan, seminggu sebelum lebaran. Jadi, belum kena macet. Suami menyusul sehari sebelum lebaran. Kena deh dia macet-macetan.


Sekarang anak-anak sudah sekolah, otomatis saya tak bisa mudik duluan lagi karena nunggu anak-anak libur. Lagian tidak enak juga mudik duluan. Kasian suami yang nganterin, bolak-balik dong: Bogor-Garut, Garut-Bogor. Jadi, kami harus pintar-pintar memilih waktu untuk mudik. Ada kalanya perkiraan kami tepat, bisa mudik tanpa kena macet. Tapi untuk perjalanan mudik kemarin, kami harus terkena macet dan menempuh perjalanan Ciputat-Garut selama 12 jam!

Yap, kami berangkat dari rumah orang tua saya di Ciputat, karena sebelumnya kami mudik ke Ciputat dulu yang hanya satu jam perjalanan dari Bogor. Tanggal 26, kami mudik ke Ciputat. Semua barang keperluan mudik sudah dibawa, karena tidak balik lagi ke Bogor. Dua hari di Ciputat, kami melengkapi keperluan lebaran yang belum sempat dibeli. Apa lagi kalau bukan baju lebaran dan pernak-perniknya? Sebagai ibu-ibu, sudah pasti dong saya juga kebagian masak-masak hidangan lebaran. Beruntung, saya hanya kebagian memasak sayur pepaya dan opor ayam. Sehari sebelum lebaran, saya belanja ke pasar bareng salah seorang adik saya, untuk keperluan memasak hidangan lebaran.

Malam takbiran terasa ramai, karena rumah ayah saya diapit oleh musala dan masjid yang sama-sama mengumandangkan takbir. Jadi ingat waktu kecil dulu saya suka keliling komplek untuk takbir keliling. Sepertinya sekarang sudah gak ada lagi anak-anak yang ikut takbir keliling. Rasanya lebih seru nuansa hari raya di masa kecil. Yang masih sama adalah, malam takbiran itu kami semua tidak tidur terlalu nyenyak karena masih mempersiapkan hari raya esok hari. Jam 4 pagi, kami sudah bangun dan antri mandi. Maklum deh, penghuni rumah orang tua saya jadi bertambah karena semua anaknya mudik. Ada tiga anak yang sudah menikah dan semuanya juga sudah punya anak. Rumah ramai oleh suara cucu-cucu yang masih balita. 

Salat Ied dilakukan di lapangan dekat rumah ayah saya. Alhamdulillah, hujan sehari sebelumnya tak menyurutkan niat untuk salat Ied di lapangan. Padahal, pengurus masjid dan musala sudah mengumumkan rencana salat Ied di masjid bila hujan mengakibatkan lapangan tak bisa dipakai. Salat Ied di lapangan sudah tentu lebih semarak. Melihat ratusan orang salat bersama-sama, apalagi yang perempuan mengenakan mukena putih, indah sekali. Semua bersujud kepada Allah Swt, mensyukuri hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa. Semua orang bisa lebaran, tapi hanya orang yang berpuasa saja yang bisa merayakan hari kemenangan, Idul Fitri. Hari di mana jiwa kita kembali suci karena telah berhasil menaklukkan hawa nafsu selama satu bulan. Tentunya kita masih harus terus menjaga kesucian diri setelah hari raya dengan tidak mengumbar nafsu semena-mena. 

Berangkat salat Ied
Setelah salat Ied, kami berziarah ke makam ibu saya yang terletak di samping lapangan. Jalanan sudah macet oleh orang-orang yang baru pulang salat, sekaligus hendak ke pemakaman umum. Ibu saya sudah meninggal tujuh tahun lalu, dan kami biasa menziarahinya setiap awal bulan puasa dan selesai salat Ied. Mata pun basah mengingat ketiadaan Ibu di sisi kami pada hari lebaran. Dulu, setiap lebaran, Ibu akan membuatkan masing-masing tiga stel baju lebaran. Belum lagi dengan banyaknya hidangan lebaran dan kue-kue. Sekarang rasanya sangat berbeda. Kami harus beli baju lebaran sendiri dan memasak hidangan lebaran sendiri. Ya iyalah, kan sudah jadi ibu semua. Tapi tetap saja, kehadiran seorang Ibu terasa sangat melengkapi hidup anaknya. 

Ziarah ke makam Ibunda
Setelah berziarah, kami makan ketupat dulu, lalu dilanjutkan dengan bersilaturahmi ke rumah seorang kerabat, yaitu adik ibu saya, yang rumahnya di dekat situ juga.  Baru deh kami berkemas ke Garut. Kirain gak bakal macet, karena orang baru selesai salat Ied. Siapa tau kan mereka masih salam-salaman. Eh, kok banyak yang berpikiran sama dengan kami, mudik setelah salat Ied. Bayangin, dari Ciputat ke Lebak Bulus aja makan waktu 2 jam!

Perlu waktu 5 jam untuk sampai Bekasi, padahal normalnya sih sudah sampai Garut ituh. Suami juga sudah kelihatan depresi, sampai nanya, “Apa mau balik lagi ke Ciputat? Besok aja mudiknya?” Hadoooh… yang bener aja balik lagi? Apa pun yang terjadi, tetap harus dihadapi. Udah terlanjur mudik, bisa ilfeel deh kalau balik lagi. Siapa yang bisa jamin kalau besok tidak macet? Belakangan kami tahu, kemacetan itu masih terjadi sampai H+ 5 lebaran! Waaaaaw! Untunglah, walaupun perjalanan tersendat-sendat, sampai suami pegal karena harus gas-rem, gas-rem, mudik tetap berlanjut.

Baru sampai Lebak Bulus sudah macet
Saya sudah siapin banyak amunisi supaya perjalanan mudik itu gak membosankan. Bayangin dong 12 jam di dalam mobil. Apalagi kalau mudiknya ke Jawa Tengah atau Jawa Timur ya? Naik bus dan mobil dengan lalu lintas yang super padat. Untuk anak-anak, harus ada makanan ringan, susu, dan mainan. Si sulung asik mainan Tablet. Kecil-kecil begitu juga sudah jago main game hehehe.... Saya juga asyik pegang Andromax Smartfren I2 yang bisa dipakai browsing-browsing. Yang kasian sih suami saya yang nyupir, cuma bisa nyupir, hehehe. Sesekali dia menyindir seandainya saya bisa nyetir mobil juga. Untung doi kuat nyupir dengan kondisi lalu lintas seperti itu. Macet parah.

Syukurlah, anak-anak tidak rewel. Bayangkan kalau mereka rewel di tengah kemacetan, berabe kan? Saya bawa dua anak usia 7 tahun dan 2 tahun. Anak yang tengah (usia 6 tahun), sudah mudik duluan. Itupun kami harus berhenti dulu di SPBU, karena si bungsu buang air besar di diapers. Untuk bisa ke SPBU pun penuh perjuangan. Semua SPBU juga penuh pemudik. Kayaknya arus mudik tahun ini adalah arus mudik terparah. 


Si sulung sampai kelelahan
“Mah, coba cek dong di twitter… kondisi macetnya sampe mana, nih?” suruh suami. Saya kan memang   sedang buka-buka Smartfren Andromax I2, ngilangin kebosanan dengan membaca situs-situs berita dan sosial media. Lumayan, bisa tetap update informasi. Sinyalnya kencang pula, jadi tidak suntuk. Saya buka twitter, terutama akun yang mengabarkan kondisi lalu lintas di sepanjang arus mudik. Tol Cikampek, Tol Cipularang, Nagrek, halaaah… macet semua. Nasib… nasib…. 

Pantau arus mudik di twitter dengan sinyal kencang dari Smartfren Andromax I2

Dua kali kami berhenti untuk beristirahat sekaligus salat. Suami juga minta dipijat, karena pikirannya udah blank saking capeknya. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Soalnya bukan cuma sekali kami dapat musibah gara-gara suami mengantuk dan capek. Kami pernah disemprit polisi dan kena tilang, pernah juga mobil menabrak bagian belakang mobil orang dan diminta bayar Rp 500 ribu, dan pernah menginjak batu besar hingga nyaris terguling. Serem, ya? Mudik memang berisiko dalam keadaan lalu lintas yang macet dan tubuh lelah, makanya harus super hati-hati. Kalau sudah tidak kuat, lebih baik berhenti dulu di Rest Area atau pinggir jalan. 

Alhamdulillah, akhirnya kami sampai di Garut setelah 12 jam perjalanan. Dalam kondisi normal, Ciputat-Garut itu paling lama 7 jam. Nah ini, berangkat jam 13.30 WIB, sampai di Garut jam 1.30 WIB. Langsung tepar tidur sampai Subuh. Akibat nyetir 12 jam dengan kondisi jalan yang padat merayap, akhirnya suamiku malah tidak ikut silaturahmi ke mana-mana karena sakit. Kasian sekali. Walaupun demikian, kami tetap senang bisa mudik ke rumah orang tua dan kembali melihat hijaunya sawah di sebelah rumah. Yap, tepat di sebelah rumah mertua, ada sawah. Di kejauhan juga terlihat pegunungan, entah apa namanya, hehehe.... Tak heran di sini udaranya sangat sejuk dan airnya sedingin es. 


Sawah dan gunung di sebelah rumah mertua



Anak-anak asyik main  layangan di sebelah rumah


Mudik kali ini menjadi tak biasa karena kami mengadakan acara khitanan dan akikahan anak pertama dan ketiga di kampung halaman suami. Sepuluh hari sebelum mudik, si sulung dikhitan. Sekalian sajalah acara syukurannya dengan akikah si bungsu yang sudah berusia 2 tahun tapi baru ada rejeki sekarang untuk potong 2 ekor domba. Jadi, maklum kan kenapa kami ngotot mudik walaupun maceeeet? Hehehe…..

Anak-anak bermain dengan domba yang akan dipotong


Kesibukan memasak acara khitanan dan akikah
Di hari lebaran justru semangat berbagi harus meningkat. Selain bagi-bagi angpau, kami juga bagi-bagi daging domba. Jangan khawatir. Yang tidak suka daging domba, juga disediakan sate daging sapi kok. Acara khitanan dan akikah ini tidak direncanakan, karena memang keputusannya mendadak. Si sulung harus dikhitan akibat fimosis (penyumbatan saluran kencing). Alhamdulillah, dapat rejeki yang pas untuk mengadakan acara syukuran. Barangkali Allah Swt meridhoi niat kami untuk berbagi. Soalnya memang jumlahnya pas banget dengan biaya syukurannya. Subhanallah!

Ismail dapat hadiah khitanan :-)

Antri ambil sajian daging domba,


Kumpul keluarga saat mudik lebaran
Lega sekali setelah acara usai. Berhubung sudah tidak ada acara lain, saya meneruskan "kencan" dengan Smartfren Andromax I2. Walaupun mudik, saya tetap membawa laptop kesayangan supaya bisa ngeblog. Tinggal dicolokin ke modem Smartfren Andromax I2 (ponsel sekaligus modem), blog pun bisa update. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 Hijriyah yaaa..... 



4 comments:

  1. Yang deket aja sampe 12 jam ya mbk hehe..macet tp seru,momen indah hehe

    ReplyDelete
  2. sekalipun macet...mudik tetap menyenangkan, #Indahnya silahturakhim#...^_^
    Oya saya juga ingin ngucapin...Selamat lebaran...mohon maaf lahir batin...

    ReplyDelete
  3. Sama nih, kemarin hari kedua lebaran saya mudik ke Tasik dari Bandung juga 12 jam.
    Mudik Lebaran taun ini memang sesuatu , hehe

    ReplyDelete
  4. wuih mantap ya mak perjalanannya meski lelah tp senang, semoga menang lomba cerita mudiknya mak :)

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^