Monday 21 October 2013

Mengenang Kisah Bersama Ayah

Saya dan Ayah

Sore kemarin, ketika saya sedang memasak, ponsel bergetar menandakan ada telepon masuk. Ayah, itulah nama yang tertera di display. Bukan suami saya, melainkan kakeknya anak-anak, yaitu ayah saya. Suaranya terdengar lemah, saya sudah menduga, pasti sakit lagi. Ayah memang menderita diabetes dan tekanan darah tinggi. Sudah dua kali ke dokter, tetapi rasa pusing yang dideritanya belum reda juga.


“Ayah pusing lagi….” Begitu keluhnya. Ayah menceritakan penyakitnya yang kambuh lagi, diperparah dengan perutnya yang kosong karena ketiadaan makanan di rumah. Kedua adik saya yang masih tinggal  bersama Ayah, selalu pulang menjelang Isya. Yang satu sudah bekerja, satu lagi masih SMA. Ah, saya bingung bagaimana mau menanggapi keluhan Ayah, karena rumah saya berjauhan dengan Ayah. Biasanya saya menjenguknya di akhir  pekan, membawa ke dokter atau membelikan makanan dan susu khusus penderita diabetes. Saya tak bisa merawat Ayah sepenuh waktu karena telah berkeluarga.

“Ayah gak minta apa-apa, cuma mau cerita saja,” kata Ayah, ketika saya tanyakan apakah beliau mau ke dokter lagi? Dan apakah persediaan makanannya sudah habis?

Saya termenung. Kasihan Ayah. Ibu saya sudah meninggal sejak tujuh tahun lalu, dan Ayah tak ingin menikah lagi. Saya pikir seharusnya memang Ayah menikah lagi, tetapi beliau punya alasan kuat untuk tetap sendiri.

Ayah saya mungkin bukan ayah yang terbaik di dunia. Iya, saya bilang begitu karena sewaktu saya kecil dulu, Ayah adalah seorang ayah yang galak. Ayah sangat ketat mendidik anak-anaknya, terutama pendidikan agama. Kami diajari salat dan mengaji dengan rutin. Setelah agak besar, kami harus salat di masjid dan mendengarkan ceramah. Tidak boleh menginap di rumah teman, apalagi yang rumahnya jauh. Tidak boleh keluar malam melebihi jam 9 malam. Peraturan itu sangat mengekang, tetapi manfaatnya kini amat saya rasakan. Saya menjadi pribadi yang sangat menjaga diri, takut kepada Allah, tidak berani melakukan hal-hal negatif yang bisa membuat murka Allah dan orang tua.

Saya yakin tindakan disiplin Ayah sejatinya adalah untuk saya sendiri. Walaupun keras dan disiplin, Ayah juga sangat menyayangi keempat putrinya. Saya ingat peristiwa manis ketika saya dipanggil untuk wawancara pekerjaan di sebuah bank Negara di Jakarta. Kami tidak punya motor, apalagi mobil. Tetapi, Ayah mau mengantar saya berangkat pagi (karena ujian jam ½ 8), menembus kemacetan Jakarta. Naik ojek, lalu taksi. Ternyata macet, kami naik ojek lagi, disambung dengan bus Transjakarta. Alhamdulillah, sampai juga di tempat wawancara tepat waktu. Hasilnya? Saya tidak lolos di ujian keempat. Ah, rasanya sedih sekali sudah mengecewakan Ayah.

Kemudian, di bulan Ramadan, Ayah kembali mengantarkan saya pergi menaruh surat lamaran di kantor Sekeretarian Negara. Siang-siang dalam keadaan berpuasa, kami berjalan kaki dari tempat pemberhentian bus, menuju kantor SekNeg. Mampir dulu ke Masjid Istiqlal untuk salat dan menyegarkan tubuh. Kami melihat sebuah warung makan pinggir jalan yang penuh dengan karyawan laki-laki sedang makan di siang hari bulan Ramadan. Saya memandang wajah Ayah yang masih bersemangat. Alhamdulillah, bersyukur memiliki ayah yang saleh, yang tetap berpuasa sampai kini di usia 60 tahun, meskipun tubuhnya sudah diserang banyak penyakit.

Terima kasih, Ayah. Semoga kau selalu sehat dan bahagia.

Bersama Ayah, setahun lalu di wisuda adik saya


4 comments:

  1. mba leyla mirip deh sama adiknya *salah fokus

    ReplyDelete
  2. Semoga ayahnya senantiasa diberi kesehatan trs sama Allah SWT ya Mbak

    ReplyDelete
  3. Keinginan untuk menjaga sendiri orang tua memang ada ya Mbak...saya juga sedih karena tidak bisa menjaga orang tua sendiri.

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^