Thursday 19 September 2013

Suka Duka Mengontrakkan Rumah

Sekitar tiga tahun lalu, suami saya membeli rumah secara kredit dari tante saya di Depok. Rumah itu kami dapatkan kebetulan saja. Saya memang gak betah tinggal di Citayam, selain akses ke mana-mana yang jauh, juga airnya yang kuning. Mungkin karena rumah itu memang sudah jadi jodoh kami, prosesnya juga mudah. Suami mengajukan pinjaman ke Bank dan langsung disetujui. Sejak itulah, kami harus membayar kredit untuk dua rumah. Alhamdulillah, kredit rumah di Citayam sudah lunas, jadi tinggal satu saja.


Supaya rumahnya terawat, kami terpikir untuk mengontrakkannya. Baru dua hari pasang pengumuman di depan rumah itu, sudah ada yang mau mengontrak dan langsung deal. Namanya juga simbiosis mutualisme. Kami mengontrakkan tak mau mengambil untung banyak-banyak, karena memang tujuannya supaya rumah itu terawat. Saya sih sudah pengen pindah ke rumah itu, tapi suami belum siap dengan lingkungan yang ramai. Dia lebih suka tempat yang sepi seperti di Citayam. Jadi, biaya kontraknya pun lebih murah daripada rumah-rumah lain di sekitar situ.

Calon pengontrak yang pertama itu kelihatannya baik, sopan, dan ramah. Bahasanya pun halus. Ketika dia mau menempati rumah kami, rumahnya dicat dulu. Dia sendiri yang mengecat dan tidak minta bayaran dari kami. Belakangan baru ketahuan kalau dia kesulitan keuangan. Anaknya empat dan sudah besar-besar, dengan biaya sekolah yang lumayan. Sementara kepala keluarga (bapak) tidak bekerja, dan ibunya hanya bekerja dari rumah, memproduksi usaha rumahan dengan skala kecil. 

Kami menoleransi pembayaran yang dicicil dua kali, tapi saat mereka mau memperpanjang kontrak rumah, kami mulai was-was. Pembayarannya bukan lagi dicicil dua kali, tapi semampunya mereka. Lalu, ketika kami mengecek pembayaran tagihan-tagihan listrik, air, telepon, ternyata mereka tidak rutin membayar sampai selalu mendapatkan teguran. Terpaksa kami memutus hubungan kontrak, dan ternyata mereka meninggalkan tagihan telepon (yang digunakan untuk internet tanpa izin kami) yang belum dibayar. Jumlahnya lumayan.

Pengontrak kedua adalah seorang kenalan saya di facebook. Kali ini mereka langsung membayar (konon katanya dengan menggadaikan motor dulu, hiks...). Tagihan-tagihan pun dibayarkan semua, tak ada yang tertinggal. Kemudian mereka pindah karena suaminya ditugaskan ke luar Jawa. Ketika kami menengok rumah itu, wow... rumahnya sudah seperti tempat sampah. Sampah ada di mana-mana. Di depan, di dapur, di ruang tengah. Katanya sih mereka sudah pesan ke tukang sampah untuk mengambil sampah, ya tapi kan gimana mau ngambilnya kalau gak ada orang di rumah? Rumah saya, bisa dikatakan, hancur. Tembok rumah yang baru dicat, sudah tak berbentuk. Penuh coretan di mana-mana. Atap bocor di semua  tempat. Herannya, mereka kok diam-diam saja kalau rumah kebanjiran. Mbok ngomong gitu yaaa..... Saya jadi berpikir, apa ini si Ratu Rumah Tangga-nya gak pernah bersihin rumah? 

Sejak itu, kami kapok mengontrakkan rumah lagi. Serius! Rumah itu kami pinjamkan  ke adik suami (adik jauh). Tidak usah bayar kontrak, tapi tagihan-tagihan listrik dan air harus dibayar. Telepon pun kami putus, gara-gara ada tunggakan dulu. Adik suami menyetujui, tapi ternyata dia gak serius nempatinnya, mungkin karena masih lajang. Gak enak sendirian di rumah besar. Sudah gitu, tagihan listrik dan air gak dibayar dua bulan, hampir saja diputus. Kami baru tahu dua bulan kemudian setelah kami tanyakan kabarnya dan ternyata dia baru saja kecelakaan! 

Kemudian, seorang teman facebook juga, menghubungi saya, pingin mengontrak rumah itu. Kami tanyakan ke adik suami, bener gak mau ninggalin rumah itu? Dia jawab, belum akan tinggal dulu. Ya sudah, kami putuskan untuk mengontrakkan ke teman facebook itu. Janji bertemu di rumah untuk lihat kondisi rumah. Dia langsung setuju mau ngontrak karena sudah capek nyari kontrakan, dengan catatan: atap bocor diperbaiki dan tembok dicat. Oke, deal.

Suami pun mencari tukang bangunan untuk memperbaiki atap dan mengecat tembok. Tapi, belum sempat untuk mengecat semuanya, karena si calon pengontrak itu buru-buru pengen nempatin dan bahkan bersedia melanjutkan pengecatan, yang penting sudah nempatin rumahnya. Dia juga yang minta nomor rekening untuk transfer DP (dana pertama). Kunci rumah pun sudah diberikan ke dia. Belakangan, dia kok jadi cerewet banget. Minta ini, minta itu. Di rumah itu memang ada beberapa barang milik saya dan adik suami. Dia minta semua barang dipindahkan, kalau gak, nanti dia buang. Ngomongnya sadis bener juga. 

Saya pun mengontak suami, minta adiknya supaya buru-buru ambil barang-barangnya. Ya, daripada dibuang to? Barang-barang saya, gak mungkin dipindahkan (satu kursi panjang dan meja). Pengontrak yang dulu-dulu juga gak masalah, malah enak bisa dipake. Dia ngancam akan membuangnya kalau gak diambil. Suami pun mengalah. Ya sudah, buang saja. Pengen tau dia buangnya ke mana. Terakhir, dia minta pintu kamar mandinya diganti! Oo-ooo.... Pintu kamar mandi memang keropos bawahnya. Pintu kamar mandi saya juga keropos, namanya juga dari kayu. Tapi masih bisalah ditutup. Cuman dia parno aja kali ya.... Coba pikir, kalau mau ganti pintu kamar mandi, minimal sejuta. Kemarin saya lihat juga harga pintu kamar mandi itu sejuta, sementara dia transfer DP pun belum. Yap, setelah dua minggu sebelumnya dia janji minta transfer, nyatanya itu uangnya belum ditransfer-transfer. 

Oya, sebelumnya dia juga minta draft perjanjian kontrak rumah, dan sudah saya penuhi. Lalu, dia minta pikir-pikir dulu. Eit dah! Saya bingung juga. Katanya mau buru-buru pindah, tapi  banyak amat mikirnya. Saya kan jadi bertanya-tanya, ini orang serius gak mau ngontrak, karena DP juga belum ditransfer (sudah dua minggu dari booking). Sudah minta macam-macam. Kalau DP sudah ditransfer, bisalah kita penuhi itu pintu kamar mandi. Jadi saya tegaskan saja, secepatnya saja kasih jawaban supaya kami yakin, karena DP pun belum dia transfer. Eeeeeeeeeeh.... setelah semua sms yang makan pulsa, bikin capek suami saya karena harus buru-buru ngecat dan nambal atap, dia bilang "Gak Jadi Ngontrak." 

Gubraaaak! Well, saya sih alhamdulillah banget dia gak jadi ngontrak. Cuma aja, gondok bukan main. Cape deeh... Ngeladenin smsnya aja udah makan hati dan pikiran. Alasan dia, itu kan rumah saya, jadi kan saya juga yang untung kalau rumahnya dibenerin. Iya sih, saya memang akan ngebenerin rumah itu, tapi kan gak perlu buru-buru gitu kalau bukan karena dia mau cepat-cepat ngontrakin. Lagian, benerin rumah kan butuh uang, nah dia dimintain DP malah gak jadi ngontrak. 

Maka, jangan salahkan siapa-siapa kalau dia merasa selalu mendapatkan kesulitan dan musibah, mungkin karena dia juga suka nyulitin orang lain. Alhamdulillah, adik suami saya mau balik lagi ke rumah itu. Malah dia bersihin semua sampah dan cat lagi. Gak bayar kontrakan, tapi tagihan-tagihan akan dibayar. Oya, sepertinya dia ngerasa kalau udah ngerepotin, jadi dia mentransfer Rp 100 rb untuk biaya cape-cape, hehehe..... 

Mungkin ini hikmahnya, karena sejak awal saya sudah niat meminjamkan rumah itu ke adik suami, sepertinya pahalanya lebih banyak daripada biaya kontrak yang cuman Rp 7.5 juta per tahun. Bayangkan jika rumah jadi dikontrakkan oleh teman facebook yang cerewet, barangkali saya gak bisa tidur tenang karena diteror terus. Phiuuh..... *elapkeringet. 

Rumah yang (tidak akan) dikontrakkan



Kursi hijau itu yang mau dibuang :P


6 comments:

  1. sabtu depan saya pindah ke pekanbaru mbk,rumah di batam rencana nggak di kontrakkan..dengan alasa takut rusak barang2 dan rumahnya,kan sayang...setidaknya sebulan dua kali ada bibi (yg bantu di rumah bulek) bersedia membersihkan rumah kami...ngeri juga lihat cerita teman2 yg rumahnya id kontrakin,yang kuncinya bolak/ik grusak,kranya rusak,pintunya rusak, perabotan di jual...aduhhh,ngeri :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbaaa... kirain rumah bakal terawat klo dikontrakin, nyatanya malah rusak. Mungkin enak kali ya bukan rumah si pengontrak, jadi suka-suka aja makenya :-)

      Delete
  2. Sedih ya, rumahnya jadi ga terawat karna yg ngontrak rumahnya cuek :(

    Saya baru mengontakkan rumah satu kali, pada teman kantor suami. Keluarganya baik dan rumah saya juga terawat. Kami jd ga tega menyuruh mereka pindah krn mau nempatin sendiri rumahnya. Untung mereka ngerti dan dapat kontrakan di gang sebelah. Skr mereka sdh kembali ke Jogja dan kami msh berhubungan baik.

    Saya pernah juga ngurusin rumah kakak yg dikontrakan (lokasinya dekat dg rumah saya). Duh, sampai skr penghuninya 'ajaib' melulu. Selalu diprotes tetangga. Yang pertama, ketika deal datang sekeluarga (suami, istri dan anak). Ternyata yg nempatin rumah sepasukan anak muda yg bekerja sebagai penagih hutang. Rumah nyaris hancur! Belum lagi berisiknya.
    Pengontrak kedua tidak banyak berinteraksi dengan warga. Juga akhirnya hengkang karena diomongin tetangga. Mereka pasangan suami-istri, tapi sepertinya 'ada sesuatu' hingga harus bersembunyi. Gosip yg beredar, mereka bersembunyi karena nikah siri. Ah entahlah.

    Syukurlah sekarang sudah tenang ya mbak urusan rumah yang tidak akan dikontrakkannya ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waduuh mb, ternyata ada jg ya yg begitu? Deadlnya suami istri, ternyata anak-anak muda. Gawat klo sekumpulan anak muda yg gak diketahui bener enggaknya. seru jg ceritanya :D

      Delete
  3. Ngeri dan sulit juga ternyata ya mbak....kalau mengontrakkan itu ibarat untung2xan...kalau dapat pengontrak yang baik dan bertanggung jawab sih syukur.... kalau nggak...bisa hancur deh property kita seperti cerita mbak di atas. Bahkan dengan kerabat dekat sendiripun nggak jaminan juga bahwa rumah yang kita 'pinjamkan' tadi akan bisa dijaga.... Jadi bahan pelajaran buat lebih hati2x....

    ReplyDelete
  4. Saya cari di google, terlau banyak cerita pengalaman seperti ini.

    Saya juga mengalami, tapi Alhamdulillah tidak separah pengalan-pengalaman orang lain.

    Niat dikontrakkan karena memang rumahnya gk kepake, daripada terbengkalai mending dikontrakkan, tapi yg jadi masalah, itu kan pakai PDAM untuk suplai air, orang yg ngontrak rumah gk bayar PDAM 3 bulan, dia pun kabur, kunci rumah dia bawa, untung masih punya kunci cadangan, langsung saya ganti kuci rumah itu dengan yg baru.

    Ada kerusakan-kerusakan minor di pintu samping, keramik lantai, dan pintu kamar mandi.

    Orangnya sopan, halus kalau ngomong, pendiam, tapi selalu mangkir kalau bayar-bayar tagihan, untung listrik pakai pulsa, dan gk pakai telpon rumah dan internet.

    Orang yg ngontrak gk jauh dari rumah saya itu, dia baru nikah, mau pisah rumah dengan orang tua.

    Satu kesalahan fatal saya adalah, saya benar2 blank soal identitas orang yg ngontrak rumah itu, minimal KTP dia saya foto lah ya, dan surfey rumah orang tuanya.

    Saya juga gk pakai draft perjanjian kontrak rumah, jadi bener2 gk ada aturan.

    Ada rasa trauma/kapok tersendiri untuk mengontrakkan rumah itu lagi.

    Saya capek2 ngerawat selama saya tempai rumah itu saat masih lajang dan kuliah, eh cuma sekali dikontrakkan malah jadi rusak.

    Setelah baca pengalaman-pengalaman orang lain, saya merasa lega, saya masih kebagian yg minimal.

    Satu yg paling saya sesalkan, orang yg nempatin rumah saya itu peminum miras, saya menemukan bekas kemasan minuman keras disamping rumah, aduh,,, rumah saya dipakai untuk maksiat.

    Saya memang udh gk mungkin lagi untuk menempati rumah itu, karena setelah menikah, saya sudah buka usaha dan punya rumah ditempat lain, gk ada usaha/kerjaan saya ditempat rumah saya yg dikontrakkan itu, apalagi kondisi lingkungannya sepi, masih dikembangkan, apa-apa jauh, dan terasa kurang aman.


    Mau dibikin rumah singgah pun gk mungkin, jarang kesitu.

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^